v [The Holder Of Deliverence] Part 7 : Bounty | UNSOLVED INDONESIA

[The Holder Of Deliverence] Part 7 : Bounty

Bagian Ketujuh dari Cerita The Holder Of Deliverance

“Halo, ma.”

“Hai, sayang. Bagaimana New York?”

“Biasa aja.”

“Bagaimana audisinya?”

“Hm?”

“Bukankah kau mengikuti audisi untuk Theater minggu lalu?”

Oh! Sebenarnya, aku lupa ikut.”

“Kau lupa? Tapi, kau tidak pernah berhenti membicarakannya! Aku pikir kau benar-benar ingin berada di produksi itu!”

“Ya. Yah, banyak hal yang terjadi. Segalanya menjadi agak gila di sini.”

“Sayang, itu tidak sepertimu. Kau bahkan bela-bela pindah jauh-jauh ke sana supaya kau bisa tampil! Ibu tidak bisa membayangkan kau melupakan audisi yang begitu penting.”

“...”

“Halo? Apakah kau masih di sana?”

Ya, aku di sini. Dengar, aku akan keluar kota untuk sementara waktu. Aku akan pergi ke Boston, dan aku tidak tahu berapa lama aku akan pergi. Aku hanya ingin memberitahumu.”

“Untuk apa kau pergi ke Boston?”

“Aku tidak bisa mengatakannya. Aku hanya ingin memberitahumu, jadi kau tidak usah mengkhawatirkanku. Aku akan memberi tahumu detailnya ketika aku kembali. Love you ma.”

“Sayang, apa terjadi sesuatu?”

Selamat tinggal.”

.

.

.

Sampai sekarang, ada satu pertanyaan yang gagal kutanyakan pada diriku sendiri. Apa yang akan aku lakukan setelah aku menemukan jawabanku? Pulang? kembali mencoba menjadi aktor, dan mencoba menjadi kaya dan terkenal? Somehow aku merasa, dibandingkan dengan dunia baru ini, mimpi lama itu terasa sangat... duniawi.

Entahlah. Untuk sekarang, yang ada dipikiranku hanyalah hal yang ada di depan mata.

Kini, aku tahu lebih tentang para obyek dibanding sebelumnya. Pengetahuan ini, lebih banyak dari orang-orang ‘normal’ diluar sana yang bahkan tidak bisa membayangkan ada dunia diluar pemahaman manusia. Entah kenapa, aku merasa adalah dosa untuk membiarkan pengetahuan itu sia-sia.

.

.

Apartemen Allen berada di kompleks besar dengan taman di belakangnya, dimana masing-masing apartemen memiliki balkon. Malam telah turun sekali lagi, dan tanah masih tertutup salju karena badai yang baru-baru ini terjadi. Dengan kecepatan yang ditentukan, aku memasuki kompleks apartemennya dan menaiki tangga untuk mencapat tempatnya. Dia tinggal di lantai 5.

Segera setelah aku mengetuk, pintu terbuka dan kepulan asap rokok langsung menggulung di wajahku. Pria yang memelototiku, memiliki janggut yang tidak rata dan sedang mengisap rokok; dia terlihat seperti narapidana. Dia setidaknya sepuluh tahun lebih tua dari Pustakawan; Hm, apakah mereka benar-benar rekan kerja?

“Apa maumu? Kalau butuh sesuatu bicara, jangan diam saja.” dia menggeram padaku.

“Aku... Pustakawan memberiku alamatmu.”

Dia memutar matanya bosan, seakan setengah mengharapkan kedatanganku.

“Oh, kau pasti orang itu.

Aku tidak merespon. Nampaknya, apa yang dikatakan oleh Pustakawan tentang banyak orang yang sudah mengenalku, juga termasuk orang ini.

Dia kemudian membukakan pintu untukku dan mundur ke ruang tamunya, sebelum merosot di sofa. Ada TV menyala disana, tetapi tidak disetel pada saluran apapun, hanya menampilkan statis. Aku mengabaikan saja ketika kulihat dia menatap statis itu dengan matanya, seakan dia tengah menonton sesuatu.

“Jadi.. kau tau Pustakawan?” aku memulai.

“Bukankah itu sudah jelas?” jawabnya asal. Matanya masih terpaku pada TV. “Aku sebenarnya berharap aku tidak pernah kenal dia, karena dia adalah seorang Bajingan.”

“Iyakah?” tanyaku basa-basi.

Orang itu hanya mendengus.

“Dia selalu duduk di kamarnya dan meneliti obyek, menyerahkan satu-satunya Object yang pernah dia miliki, dan terlalu takut untuk mengejarnya lagi. Menurutmu kenapa Seekers lain sangat membencinya?”

Yah aku tidak peduli.

Dengan tidak sabar, aku memutuskan untuk membahas hal yang menjadi tujuanku kemari “Aku sedang mencari Pendulum.”

Dia memberiku pandangan aneh dari sudut matanya, sebelum kemudian memasukkan putung rokoknya ke asbak. “Jika kau mendapatkan Pendulum itu, apa yang akan kau lakukan dengan benda tersebut?”

Ah, pertanyaan yang paling penting dari semua. Orang di depanku ini tidak mengerti apa yang aku tahu, dan hanya paham atas apa yang aku cari. Jadi, bahkan jika aku memberitahunya, dia tidak akan mengerti.

Aku hanya menatapnya kosong.

“Kau sangat menginginkannya?” katanya. “Kau mungkin sudah tahu betapa istimewanya sebuah Object kan?”

Dia merogoh saku depannya dan mengeluarkan sesuatu. Apa yang menjuntai dari rantai perak tipis di jari-jarinya, adalah titik bening berbentuk es, berkilau seperti berlian. Saat dia memegangnya, benda itu menggantung tidak seperti biasanya di udara.

Kemudian, dia tiba-tiba menariknya, ekspresi tengik langsung terlihat di wajahnya. Aku tidak menyadari kalau aku barusaja mengulurkan tanganku ke arah benda itu. Apa aku telah melakukannya secara tidak sadar? Dengan canggung, aku menurunkan tanganku. Menatapku, dia memasukkan benda itu kembali ke dalam saku bajunya.

“Aku bisa melihat tatapan itu di matamu. Apa yang sudah kau pelajari dari Holder yang sudah kau temui?”

Sekali lagi, tidak ada jawaban yang bisa kuberikan. Tidak, sampai aku bisa memiliki Pendulum dan bertemu sang Putri Salju. Allen mendesah pasrah pada kesunyianku.

“Setidaknya, gelagatmu benar-benar terlihat seperti seorang Seeker. Baiklah. Jadi, menurutmu dia siapa?” dia bertanya, sedikit santai. Maksudnya adalah si Putri Salju.

“Aku tidak tahu,” akhirnya aku berkata. “Dia mungkin seorang Seeker. Memang kemungkinan apa lagi selain itu?”

Allen mengangkat bahu “Seorang Holder, mungkin?”

Senyum pahit membentang di wajahku. Yah, aku tidak yakin tentang itu. “Bukankah inti dari Holder adalah mereka hanya diam di realita buatan mereka dan bertahan?”

Dia menghela nafas sebagai jawaban. “Semua orang berpikir Holder dan Seeker sangat berbeda, tapi sebenarnya tidak. Pemegang hanyalah Pencari yang menyerah pada kecanduan mereka atas obyek. Bisa dibilang mereka hampir seperti manusia.”

Aku terdiam lama, memikirkan kata-katanya. Semua yang dia katakan sangat masuk akal, dan semuanya adalah apa yang telah aku sadari sendiri setelah mengambil Object-ku. Tidak ada lagi gunanya berfilsafat tentang ini, dan aku hanya perlu menemukan jawaban. Itulah kenapa, aku langsung mengeluarkan kertas yang diberi sang Pustakawan dari kantongku.

“Apa itu?” dia bertanya, menatapnya dengan rasa ingin tahu.

“Petunjuk yang digunakan untuk mendapatkan Pendulum. Aku mendapatkannya dari Pustakawan.” Jawabku. Aku bisa melihat binar dimatanya.

“Kalau begitu mari kita lihat, ya?”

Aku membuka kertas itu dan meletakkannya di atas meja di depan kami. Apa yang tertulis disitu, aku baca keras-keras agar Allen ikut mendengarkan.

“Di kota mana pun, di negara mana pun, pergilah ke gang perumahan atau jalan mana pun di kota metropolitan. Tunggu selama yang diperlukan tanpa bergerak, dan jika kau datang ke tempat yang tepat, wanita kulit putih akan mendekatimu.

Tanyakan padanya apakah dia adalah The Holder Of Deliverence, dan dia akan menjawab, sebelum membawamu keluar dari jalan dan masuk ke sungai yang gelap.

Jika dinginnya air belum menghentikanmu, kau harus mengajukan tiga pertanyaan kepada sosok itu: Mengapa salju turun?, mengapa sungai mengalir?, Dan mengapa pendulum berayun?

Setiap pertanyaan, dia akan menjawabnya, namun dengan detail yang mengerikan. Jika kau dapat bertahan melalui ceritanya tanpa menjadi gila, dia akan memberimu sebuah Pendulum. Air akan menghilang,  dan meninggalkanmu kembali ke duniamu dengan sebuah Object di tangan.”

Untuk beberapa saat, keheningan menyelimuti ruangan, dan Allen nampak menyulut rokok lain untuk membuyarkan kecanggungan. Informasi dalam instruksi benar-benar gagal mengejutkanku.

Namun, Allen tampak jauh lebih terkejut. Dia tiba-tiba bangkit dari sofa, memasukan kunci mobilnya ke dalam sakunya. Dia mulai bergerak menuju pintu, dan aku segera bangkit untuk memanggilnya.

“Hei, Mau kemana?” kataku. Dia menoleh ke arahku dengan ekspresi kesal di wajahnya.

“Kemana menurutmu? Sudah cukup buruk dia mengikutiku, tapi mengetahui bahwa dia adalah Holder? Aku harus pergi dari sini!” Dia bergerak kembali ke pintu, tapi aku memanggil sekali lagi.

“Tunggu!”

Dia menghela nafas dan berbalik lagi, menatapku. Aku tiba-tiba cemas. Jika dia pergi, Pendulum ikut bersamanya. Apabila dia tidak bisa lagi ditemukan, semua usahaku akan sia-sia.

“Tidak bisakah kau memberikan benda itu padaku? Bukankah dengan begitu kau tidak perlu mengkhawatirkannya sama sekali.”

Matanya menyipit, dan satu tangan bergerak ke saku baju depannya, mencengkeram Pendulum.

“Memberikan padamu? Kau kira aku Seeker macam apa?”

“Aku tidak bermaksud seperti itu,” aku mendesak. “Kau tidak ingin dia mengikutimu kan? Selain itu, kau selalu bisa mencari obyek lain di lain hari.”

Dia menggelengkan kepalanya padaku. “Tidak, kau tidak mengerti sama sekali. Aku tidak akan menjadi seperti pengecut lainnya. Tidak peduli seberapa besar dia ingin mengambilnya dariku, aku tidak bisa menyerahkan benda ini padanya, apalagi kepadamu. Tidak kepada siapa pun! Mengapa kau pikir aku masih memilikinya? Aku harus menjaganya agar tetap aman!”

“Allen.” Aku menatap saku depan kemejanya, tempat Pendulum itu berada. Aku hampir bisa melihatnya melalui kain. Benda itu sangat dekat “Berikan saja padaku. Maka semuanya akan berakhir.”

Dia mengeluarkan pisau dari sakunya dan menodongkannya ke arahku. “Kau harus melangkahi mayatku dulu!”

Aku bahkan hampir tidak memperhatikan dia yang mengeluarkan pisau. Obyek yang aku cari sangat dekat. Aku merasa bahwa aku bisa menjangkau dan meraihnya! Tidak mungkin aku melepaskannya sekarang. Aku butuh Pendulum itu.

Bayangan atas diriku yang berada di rumah sakit jiwa, kembali terngiang-ngiang. Aku ingat kata-kata yang diucapkan The Holder Of Change kepadaku. Pada saat yang sama, dari pendulum itu, aku mendengar bisikan yang samar. Ketika aku sudah menyadari ujung pisaunya begitu dekat dengan leherku, aku sudah tidak peduli lagi.

Aku melompat ke arahnya dan meraih pergelangan tangannya yang memegang pisau, memukulnya sampai pisau yang dia pegang terjatuh. Dia meneriakkan sesuatu padaku, tapi aku hampir tidak mendengarnya. Dengan tanganku yang lain, aku meraih sakunya, sayangnya, dia juga meraih pergelangan tanganku. Aku merasakan tunjunya di perutku, dan dengan erangan kesakitan, aku jatuh ke belakang. Punggungku menabrak pintu.

Pintu tersebut nampaknya tidak dipasang dengan baik, karena hanya dari benturanku saja, seluruhnya sudah roboh dan lepas dari bingkainya. Kemudian tanpa ampun, dia menginjak kakiku sampai aku hampir bisa mendengar suara retakan pelan disana.

Aku berteriak sejadi-jadinya.

“Bocah sialan!” umpatnya sebelum dia memutuskan untuk pergi dan meninggalkanku.

Aku mencoba mengendalikan diri. Rasa sakit yang aku rasakan di sana sangat menyiksa, namun aku mencoba mengabaikannya dan tetap berusaha berdiri.

Aku kemudian menekan setiap rasa sakit yang ada sebelum memutuskan untuk mengejarnya. Meskipun dia sudah tidak terlihat di lorong, aku dengan terpincang mencoba untuk mencapai tangga agar dapat turun kebawah.

Jalanku lebih pelan dan jelas sekali dia lebih cepat dan jauh didepanku.

Aku terengah-engah sambil mencoba menahan rasa kecewa. Mengetahui fakta bahwa apabila aku tidak bisa mengejar Allen saat ini, maka seluruh pencarianku akan runtuh seketika.

Langkah demi langkah aku tapaki dan semakin dekat dengan tangga, realita semakin membebaniku ketika aku sudah tidak melihat punggungnya. Dia pasti sudah pergi jauh.

Tsk. Sial.

Aku hampir menangis.

Sial!

Sial!

SIAL!!!

.

.

.

.

“...”

Sayang, pengejaran ini rupanya lebih pendek dari yang aku kira.

Aku terengah-engah, terdiam di tengah tangga sembari sebisa mungkin mencoba berdiri. Karena adrenalin yang tinggi, aku hampir tidak bisa merasakan rasa sakit lagi di kakiku yang belum sepenuhnya ku periksa.

Kali kedua aku bertemu Allen, aku kini melihatnya dengan kondisi yang mengenaskan. Dia sudah terbujur tak berdaya, berada di bawah tangga dan lehernya nampak patah karena kepalanya terbentur tembok.

Aku menatapnya dingin, apakah dia terpleset?

Darah yang keluar dari sobekan dagingnya di leher, nampaknya menandakan bahwa benturan itu sangat fatal dan dia mungkin sudah tidak bisa diselamatkan. Darah itu secara perlahan mengalir dan menggenang membentuk kubangan yang menjijikan di lantai keramik yang putih.

Yth Pembaca,
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih

0 Response to "[The Holder Of Deliverence] Part 7 : Bounty"

Post a Comment