Cerita Horor By Admin.
Ide ini datang ketika admin sedang merenung untuk memikirkan ending Survivor Lost Notes. Catatan; ini bukan ending resmi dari cerita itu, ini adalah cerita yang berdiri sendiri.
.
“Manusia terakhir di bumi duduk di sebuah ruangan. Kemudian, dia mendengar pintu diketuk..”
.
"Creatus"
.
Josh menatap sosok didepannya dalam diam. Dia tidak bisa menentukan apakah dia harus takut, penasaran, atau panik.
20 menit lalu, seorang pria mengetuk pintu kabinnya. Dia kemudian berucap bahwa dia hendak bertamu.
Josh mematung seperti orang bodoh di ambang pintu karena tidak yakin atas apa yang didengarnya, namun ketika orang itu berkata dia tidak bermaksud jahat, dan berjanji akan sopan, Josh pada akhirnya mempersilahkannya.
Entah apa yang ada di pikiran Josh. Mungkin karena sudah terlewat 20 tahun sejak terakhir kali dia berinteraksi dengan manusia, dia sangat ingin untuk mengobrol. Tidak peduli bahkan jika tamunya ini, adalah manusia tanpa lengan kiri. Kepala dari hidung keatas sudah hilang, serta area yang harusnya menjadi letak jantung, kini hanya menjadi lubang intip yang tembus sampai punggungnya. Kondisinya yang hitam legam seperti gosong menjelaskan bahwa dia sudah lama melewati masa rigor mortis.
Dia, mayat berjalan, memperkenalkan diri sebagai Richard.
Josh duduk di seberangnya. Si mayat hanya diam. Tidak sedikitpun berminat menyentuh teh herbal yang disajikan Josh kepadanya. Josh sendiri bahkan sulit memahami kenapa dia menyajikan apapun untuk sosok ini.
Josh menyeruput tehnya. Enggan menjadi yang pertama membuka percakapan.
“Jauh sekali kau menetap, di pulau terpencil ini, seorang diri. Sudah berapa lama?” Tanya sang mayat hidup. Otaknya yang terpotong setengah, nampak berkedut ketika mulut dari sosok itu terbuka.
“Dua puluh tahun.”
“Begitu ya?”
“Mhm.. “
“Kalau boleh tau, kenapa kau pergi dari peradaban? Mengisolasi diri sendiri. Berkebun, menanam bahan makanan sendiri. Itu terdengar merepotkan.”
Josh tidak menjawab. Memori atas alasannya pergi dari peradaban dan mengisolasi diri di pulau terpencil kembali terngiang. Memori tentang istrinya yang meninggalkannya untuk lelaki lain, memori tentang rekan bisnisnya yang membawa kabur seluruh uangnya. Memori tentang dia, yang dituduh menjadi pelaku pembunuhan putrinya sendiri.
“Itu rumit.” Jawab Josh. Tidak mau menjelaskan lebih lanjut.
“Aku mengerti. Hidup memang nenyebalkan.” Balas sosok rusak itu. Dia juga tidak mau mengulik Josh lebih lanjut.
Josh menatap sosok itu. Ketidak hadiran bola mata membuat Josh tidak mampu bertatap mata dengannya.
Jujur, kenapa Josh tidak histeris melihat sosok didepannya, ada alasannya. Josh juga lelaki yang rusak, dirusak oleh dunia, dan segala macam omong kosong yang disajikannya. Segenap rasa takut, teror, dan mortalitas dari dirinya sendiri, sudah terkuras habis selama 20 tahun terakhir.
Penampakan horor tentang daging dan darah sudah dia saksikan ketika dia menemukan putrinya dengan kondisi pecah kepala. Alarm mara-bahaya atas sosok ‘tidak benar’ sudah berulang kali tergunakan ketika dia bertemu dengan selingkuhan istrinya. Segenap muslihat, segenap tipu daya, Josh sudah melihat setiap bab pengkhianatan dari sosok yang dulu menjadi belahan jiwanya, yang kemudian kabur dengan rekan kepercayaan Josh; membawa setiap buah kerja keras Josh. Setiap receh, setiap dolar, tidak ada yang tersisa.
Penyesalan, rasa takut. Itu hanyalah cerita masa lalu.
“Apakah kau adalah malaikat maut?” Tanya Josh.
Itu adalah teori utama Josh. Karena dia sendiri tau, bahwa dia sudah berulang kali menodongkan pistol ke kepalanya sendiri, tetapi selalu berakhir takut dan menunda-nunda keputusannya.
‘mungkin besok. Aku harus mengurusi tanaman ku hari ini’
‘ah ini bukan hari yang tepat untuk bunuh diri. Besok saja’
‘Hmm mungkin lebih baik aku melakukannya setelah hari ulang tahunku.. Bla bla bla’
Itulah yang ada di pikiran Josh setiap kali dia hampir menarik pelatuk. Alasan. Alasan. Alasan. Menunda. Menunda dan menunda. Mungkin malaikat kematian jenuh, dan memutuskan untuk menjemput Josh secara pribadi, mungkin dia sudah muak dengan Josh, yang bermain-main dengan hal ini.
Itulah kenapa, dia datang untuk menjemput. Membuat Josh tidak bisa berkelah lagi. Ini adalah harinya dia akan mati.
Sayang, itu jauh dari fakta. Pasalnya, si mayat hidup rupanya berbagi dilema yang sama dengan Josh.
“Jika kau menunggu malaikat maut, kita tidak berbeda. Dialah yang membiarkanku ada di raga rusak ini. Dialah yang menolak memutus ikatan jiwaku dengan ragaku, bahkan ketika jantungku dicabut dari tempatnya.” jelas si mayat hidup.
Josh menyipitkan mata. Oke itu mengejutkan. Jika sosok ini bukanlah malaikat maut, maka Josh pasti sudah gila dan sedang berhalusinasi.
Mencoba memastikan sesuatu, Josh meraih gagang sapu yang ada di sekitar tanpa beranjak dari duduknya, dan menyodok pelan dada dari sosok ini, memastikan bahwa rupanya yang mengerikan masih memiliki bentuk fisik, dan bukan hanya sekedar tipuan pikiran.
“Aku nyata, bukan halusinasi.” Balas si sosok setelah Josh menyodok dadanya pelan.
Josh meletakkan sapu di atas meja dan terdiam. Sibuk dengan pikirannya sendiri, mencoba melogikakan alasan keberadaan sosok ini.
Setelah keheningan cukup lama, pada akhirnya sosok itu memutuskan untuk menjelaskan.
“10 tahun lalu, outbreak terjadi. Virus mematikan datang untuk membinasakan umat manusia.
“Itu adalah virus dengan tingkat kematian yang tinggi. Menyebar melalui cairan, sekali kau bersentuhan dengan mereka yang terinfeksi, kau akan mati beberapa saat kemudian.
“Pasca kematian, tubuhmu akan bangkit lagi, dan mulai memangsa mereka yang hidup, merubah mereka menjadi mayat berjalan. ”
Josh diam mendengarkan.
“Aku mati di tahun ke 5. Didorong kedalam kerumunan zombie, oleh rekan penyintas sebagai umpan, hanya karena mereka membutuhkan pengalih perhatian untuk kabur.
“.. 2 hari mayatku dicabik-cabik. Secara menjijikan digerogoti oleh mayat hidup. Hingga pada akhirnya, mereka bosan dan meninggalkanku. Mungkin mereka mengira aku sudah menjadi seperti mereka. Mungkin mereka sudah tidak bisa merasakan kehangatan tubuhku, dan memutuskan pergi setelah jantungku habis mereka makan. Tahukah kamu Josh; zombie, mereka, kami, bisa tau keberadaan kalian manusia, bahkan tanpa melihat, dengan cara merasakan suhu badan kalian."
Josh terdiam. Selama ini dia pikir dunia hanya runtuh karena ego manusia. Perang, pengkhianatan, virus—semuanya adalah konsekuensi dari keserakahan. Tapi kini, di hadapannya duduk sesuatu yang seolah menyampaikan: ada yang lebih besar dari kehendak manusia sendiri.
“Richard…” ucap Josh akhirnya, suaranya gemetar. “Kau bilang… malaikat maut menolak memutus ikatan jiwamu. Kenapa? Apa maksudnya?”
Mayat itu mendongak, rahangnya mengeluarkan suara kaku saat bergerak. “Karena aku adalah prototipe kegagalan...”
Josh mengerutkan dahi. “Apa?”
Richard menyandarkan punggung gosongnya ke kursi kayu yang nyaris lapuk.
“Aku adalah bagian dari Proyek Eden.”
Josh menahan napas, tidak mau menginterupsi.
“Itu adalah proyek rahasia yang dilakukan oleh para ilmuwan dan pemimpin dunia. Mereka lelah dengan dunia yang rusak oleh dosa dan perpecahan. Mereka ingin memulai ulang. Dengan menciptakan manusia baru.”
Josh menelan ludah. Kata-kata itu… terlalu berat untuk dipercaya, tapi terlalu spesifik untuk jadi omong kosong.
“Mereka menamainya ADAM 2.0. Tubuh-tubuh yang diciptakan untuk tahan terhadap usia, penyakit, dan bahkan kematian. Aku adalah salah satu dari generasi awal.”
Senyum getir muncul di bibir busuk Richard.
“Tapi Tuhan… tidak menyukai ciptaan itu.”
Josh mematung.
“Dia tidak menciptakan kami. Tapi kami hidup. Kami berjalan. Kami berpikir. Kami merasa..”
“...”
“... Kami bukan manusia, tapi kami berpura-pura menjadi manusia. Masuk di antara tatanan masyarakat, bercampur aduk tidak ada yang curiga. Produk tiruan murah yang menyelinap dan membaur diantara kreasi otentik Yang Maha Pencipta. "
Josh mencerna sebentar, sebelum meminya Richard melanjutkan.
“Lalu?” bisik Josh.
“Lalu, Ia mengirim virus itu. Bukan virus biologis biasa. Ini adalah kutukan. Sejenis air bah zaman modern. Tapi bukan untuk menyapu dunia, melainkan untuk membatalkan segala upaya menyaingi-Nya. Tidak ada manusia yang boleh menciptakan manusia.”
Josh membeku. Dunia terlalu sunyi di sekeliling mereka. Bahkan jangkrik pun tak bersuara.
“Dan kami semua—manusia baru yang diciptakan untuk kekekalan—dikutuk. Jiwa kami tidak bisa mati, tapi tubuh kami membusuk. Kami tetap hidup. Tertinggal. Menjadi saksi diam tentang dosa umat manusia.”
Richard mencondongkan tubuhnya, suara retakan tulang terdengar ketika ia bergerak lebih dekat.
“Kau tahu kenapa aku ada di sini, Josh?”
Josh perlahan menggeleng, takut jawaban yang akan keluar.
“Karena kau adalah yang terakhir. Kau bukan hanya manusia terakhir… kau adalah Adam terakhir. Kau adalah yang tersisa dari benih asli Tuhan. Bukan hasil lab, bukan hasil eksperimen. Kau adalah penanda kegagalan terakhir umat manusia,” ucap suara lain.
Josh menelan ludah. Itu adalah informasi yang sangat mengerikan. Cukup mengerikan untuk mengguncang seluruh alasan eksistensi Josh. Kepalanya berdenyut, seolah-olah dunia sedang runtuh dari dalam pikirannya. Dia menatap Richard, atau apapun makhluk itu seharusnya disebut—sebuah parodi dari kemanusiaan, sebuah pesan yang berjalan.
“Kau tau darimana semua informasi ini?" Tanya Josh.
“Bahkan di dalam amarahnya, Tuhan maha adil Josh. Dia tidak akan menghancurkan ciptaannya, tanpa menjelaskan ‘mengapa’ ciptaan itu layak mendapatkannya. Kau, kalian, berhak tau.”
"Wahyu datang sebagai petunjuk. Dari awal penciptaan, malaikat membawa pesan ilahi, menurunkannya kepada nabi, dan para nabi akan memperingatkan manusia tentang janji Tuhan kepada mereka yang taat, pula ancaman kepada mereka yang membangkang atas aturan-Nya."
"... " Josh mendengarkan
"Aku, mendapat informasi dengan cara yang serupa."
" Maksudmu kau adalah seorang nabi?" Tanya Josh.
Sosok itu menggeleng.
"Tidak mungkin. Bagaimana aku bisa membandingkan diriku, produk tiruan, dengan manusia pilihan di antara kalian. Mereka, para nabi, adalah ciptaan paling baik diantara yang paling baik, sedangkan aku, keberadaanku tidak lebih dari sekedar penghinaan kepada kuasa ilahi.
“Yang datang kepadaku bukanlah bisikan halus. Tapi pernyataan perang. Gabriel tidak turun membawa pesan, tapi deklarasi. Kami, para imitasi, tidak peduli sebaik apapun kami menghindari dosa di kehidupan kami, tidak peduli seberapa banyak kami mencari pahala, itu semua tidak akan dihitung. Jangankan surga, alam baka pun tidak akan mampu kami masuki. Tempat itu tidak diperuntukkan untuk kami. Tidak pernah dimaksudkan untuk kami.”
Josh menelan ludah. Entah sudah berapa kali dia melakukannya. Bahkan nampaknya, haus terus datang lagi dan lagi, tidak peduli berapa banyak dia mencoba menyeruput isi dari cangkir teh nya yang sudah kering.
Kemudian, sosok itu berdiri. Dia menoleh kepada Josh, sebelum melanjutkan.
“Kami, para tiruan, berubah marah. Sekali mukjizat langit turun kepada kami, namun yang datang bukanlah rasa cinta, tapi amarah, rasa jijik. Kami tidak diakui. Kalian manusia lah yang menciptakan kami. Kami datang dari ide bengkok kalian yang menginginkan umur panjang. Kalian mencoba menunda kematian, mencoba mencurangi malaikat maut. Kalian tidak sadar bahwa dalam grand design penciptaan kalian , hidup adalah ujian. setiap rasa sakit adalah katalis untuk menjadi pribadi lebih baik, dan kematian adalah bel akhir yang menandakan ujian telah selesai.
“Itulah kenapa kami, para zombie yang mampu berpikir, membuat koalisi. Kami mencari setiap manusia yang tersisa di bumi dan menjelaskan cerita kami kepada mereka, meminta pertanggung jawaban atas perbuatan yang sebagian besar dari mereka, bahkan tidak tau kejadian ini terjadi. Semua itu hanyalah upaya untuk menghibur hati kecil kami, dalam mencari jawaban atas makna keberadaan kami. Pula, menyampaikan pesan terakhir langit yang diperuntukkan untuk kaum kalian. "
Josh diam mendengarkan.
"Ketika kami selesai, kalian kami bunuh.” Richard menunjuk Josh, menekankan apa yang akan menjadi akhir dari Josh ketika percakapan ini selesai.
“Itu tidak datang dari amarah, tidak. Itu adalah satu-satunya cara untuk mengirim kalian, ke pengadilan Maha Tinggi. Terlepas dari keterlibatan, kalian harus diadili, bertanggung jawab atas segala kesalahan kalian sebagai individu, dan kalian secara luas sebagai satu spesies, satu kesatuan. Waktu kalian di dunia sudah habis Josh.”
Josh menoleh ke jendela. Di luar, entah sejak kapan, dia menyadari cuaca menjadi mendung. Kini dia mematung. Kebun yang tadi pagi dia lihat berbunga, kini sudah hancur diinjak-injak oleh gerombolan orang. Rumahnya telah dikepung. Mereka, berdiri dalam diam, adalah sosok-sosok yang sama seperti Richard. Ratusan, mungkin ribuan. Sebagian besar memiliki cacat fisik yang terlihat jelas. Beberapa, berdiri di barisan depan adalah anak-anak. Mereka adalah gambaran kegagalan umat manusia, sebuah imitasi murah yang manusia tiru dari design Ilahi Yang Maha Kuasa. Design, spesifikasi, semua sama, tidak ada fitur original, Hanya tiruan, dimaksudkan untuk dicampur adukkan diantara manusia yang asli.
Hal yang membuat Josh paling tecekat, bukan tentang rupa mereka, tapi melihat beberapa dari mereka, menangis. Menatap pilu. Seakan tau apa yang akan terjadi setelah Josh mati adalah takdir tidak menentu dari eksistensi mereka.
Josh memejamkan matanya.
Suara detak jam tua di sudut ruangan terdengar seperti dentuman palu penghakiman. Detak demi detak menandai akhir dari sesuatu yang selama ini ia kira telah berakhir sejak dua puluh tahun lalu—akhir dari kehidupannya, akhir dari dunianya, dan sekarang... akhir dari umurnya.
“Bagaimana kau akan membunuhku?” tanya Josh pelan, hampir berbisik, tanpa membuka matanya.
Richard menunduk. “Cepat. Tanpa rasa sakit. Kau hanya perlu duduk di situ. Kami akan mengambil jantungmu… dan kemudian, perjalananmu dimulai.”
Josh tertawa lirih. Bukan karena lucu, tapi karena pahit. Karena ternyata, bahkan di akhir hidupnya, dia masih harus membayar harga atas dosa yang bahkan tidak dia lakukan. Dosa umat manusia. Dosa ketamakan. Dosa orang-orang yang ingin menjadi tuhan.
Dia membuka mata, memandangi wajah—atau sisa dari wajah—Richard.
“Bolehkah… aku meminta satu hal terakhir?” tanya Josh.
Richard mengangguk perlahan.
Josh menatap cangkir tehnya yang sudah kering. “Biarkan aku duduk di luar. Di bangku dekat pohon jeruk. Itu tempat spesialku.”
Richard terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. “Silakan.”
Josh berdiri, dengan tubuh lelah dan langkah tertatih, ia membuka pintu kayunya yang reyot. Udara sore yang lembab menyambutnya. Langit kelabu, berat seperti hatinya. Gerombolan sosok di luar membuka jalan. Tak ada yang menyentuhnya. Tak ada yang berkata-kata. Mereka hanya diam seribu bahasa saat dia melangkah melewati mereka.
Dia tiba di bangku kayu yang sudah lapuk dibawah pohon jeruk, duduk perlahan, dan memandangi kebun yang kini dipenuhi orang-orang asing. Pohon jeruk yang dia rawat selama dua puluh tahun masih berdiri, meskipun daunnya kini compang-camping, dan beberapa buah jatuh berserakan di tanah.
Dia mengangkat tangannya. Goresan bekas luka lama di pergelangan masih terlihat, yang dia dapat ketika dia bergelut dengan lelaki yang merenggut seluruh hal yang dia pernah miliki. Luka yang tak pernah dia selesaikan. Luka yang tak pernah dia tutupi.
“Putriku dulu suka sekali buah jeruk,” gumam Josh lirih. “Setiap ulang tahun, aku menyiapkan satu untuknya.”
Richard berdiri di belakangnya, diam.
Josh menoleh, menatap makhluk itu. “Kau tahu, aku tidak marah padamu.”
Kepala Richard—atau setidaknya apa yang tersisa darinya—bergetar sedikit.
“Aku hanya…” Josh menarik napas panjang. “…menyesal. Bukan karena aku mati sendirian, Tapi karena aku hidup terlalu lama, karena aku lari dari semua masalahku. Kau benar, hidup ini ujian yang harusnya ku hadapi dengan segenap hati, meskipun sulit, aku harusnya lebih kuat.”
Beberapa sosok dari kerumunan mulai terisak. Ada yang berlutut. Ada yang mencengkeram dadanya sendiri. Mereka tidak berbicara, tapi suara tangis mereka terasa seperti hujan yang akan datang.
Richard mendekat. Tangannya yang gosong dan retak menyentuh bahu Josh. Lalu… dia mulai membungkuk, mengarahkan tangannya ke dada Josh, perlahan menyentuh tempat jantungnya berada.
Josh memejamkan mata sekali lagi.
Dan ketika akhirnya dunia menjadi diam, dan napas terakhir keluar dari tubuh Josh—Langit runtuh menjadi hujan.
Bukan darah. Bukan api. Tapi hujan.
Lembut. Sunyi.
Membasuh luka yang bahkan tak bisa dilihat oleh mata biasa.
Tubuh Josh tertinggal, namun wajahnya tenang.
Richard membeku. “Yang terakhir dari mereka sudah pergi.” Dia merenung. “Dan sekarang, kita… tetap tinggal.”
Richard menatap mayat Josh. Perlahan, ia berlutut, dan mencabut sebatang rumput liar dari tanah.
“Semoga Tuhan… memaafkan ciptaan yang tak Dia buat.”
Dan dengan itu, para tiruan pun kembali berjalan dalam hujan.
Kembali dalam pencarian, bukan lagi untuk manusia..
.. tapi penebusan.
.
.
END.
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
0 Response to "Cerita Horor By Admin : Creatus"
Post a Comment