Diambil dari https://www.reddit.com/r/nosleep/comments/6bwh9x/20mjapan_looking_for_wife/
Diterjemahkan oleh Admin
.
.
Halo. Aku sedang mencari calon istri untuk putraku yang tampan. Namanya Souta, dan hatinya selembut namanya. Aku sangat bersemangat ingin punya cucu—semakin cepat semakin baik. Aku menulis iklan ini untuknya karena ada alasan tertentu yang akan segera aku jelaskan, tapi jangan khawatir, aku akan memberikan semua privasi yang kau butuhkan.
Putraku baru berusia 20 tahun ketika ia meninggal. Dokter berkata itu terjadi begitu cepat sampai ia mungkin tidak sadar bahwa ia sedang sekarat. Ia baru saja pindah ke universitas, dan ketika sedang berjalan di kampus, ia tiba-tiba ambruk dan meninggal seketika. Penyebabnya? Pecahnya aneurisma otak. Ia bahkan tidak pernah terkena flu parah sebelumnya.
Saat aku melahirkannya, aku terpaksa berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Awalnya aku enggan akan hal itu, tapi ketika melihatnya di pelukanku, aku tahu semua itu sepadan. Aku jarang melihat ayahnya, yang dipindahkan ke prefektur lain untuk pekerjaan, tapi mungkin itu yang terbaik; kami memang tidak mencari cinta sejati, kami hanya ingin membentuk keluarga agar orang-orang disekitar berhenti mendesak kami. Akulah yang selalu menjaga Souta—membesarkannya, memberinya makan, memakaikannya baju, menemaninya ke sekolah, ke bimbingan belajar, ke rumah teman-temannya. Souta-lah yang memberi makna bagi hidupku yang membosankan.
Tapi kini ia telah tiada.
Bagaimana aku bisa menggambarkan rasa sakit kehilangan seseorang yang paling kau sayangi? Aku tidak peduli pada siapa pun lagi di dunia ini. Aku tak punya siapa-siapa. Aku bahkan nyaris tak punya niat untuk melanjutkan kehidupanku sendiri. Tapi aku masih hidup, dan entah berapa dekade lagi aku harus menanggung penderitaan ini sendirian.
Aku pergi ke pemakamannya. Kami semua mengenakan setelan jas yang terlalu tebal untuk musim panas yang lembap, menyalakan dupa dalam keheningan, menunggu tubuh Souta dibakar. Kerabat, teman-temannya, guru-guru lama maupun baru, semua datang memberi penghormatan. Beberapa temannya menangis pelan di belakang. Aku terlalu hancur untuk berpikir, hanya mengikuti tradisi seperti mesin. Saat kami memisahkan potongan tulang dari abunya dan meneruskannya satu per satu, aku melihat bagaimana segala yang tersisa dari anakku dikirim pergi, dan aku tidak sanggup menanggungnya. Entah bagaimana aku bisa melakukannya, tapi aku menyimpan sedikit tulangnya untukku sendiri. Aku bawa pulang dan sembunyikan di bawah bantal. Air mataku akhirnya pecah, jeritanku memenuhi rumah, hingga akhirnya tubuhku pingsan di tengah tangis.
Setiap kali aku membuka mata, kenyataan menamparku lagi. Jadi aku menarik selimut dan kembali menangis sampai tertidur. Aku tak tahu berapa hari berlalu sebelum suamiku pulang dari perjalanan dinas dan menemukanku—dengan kondisi dehidrasi dan kelaparan. Ia memanggil ambulans, dan aku harus tinggal di rumah sakit beberapa waktu di bawah pengawasan. Akhirnya rasa sakit itu berubah menjadi hampa, dan dokter menganggap aku “aman”, jadi aku boleh pulang.
Aku membuka pintu, melepas sepatu, dan berbisik lelah, “Aku pulang,” sambil melangkah ke lorong rumah. Awalnya aku tidak sadar ada jawaban. Aku sudah naik tangga ketika baru tersadar seseorang berkata, “Selamat datang kembali.”
Aku berhenti.
“Souta?” bisikku.
“Di bawah!” jawab suara itu dari dapur. Suara yang tak salah lagi—suara anakku.
Di dapur, Souta duduk menatap layar hitam televisi yang mati.
“Bu, aku nggak bisa nyalain TV.”
Oh Tuhan, itu anakku, dia kembali, dan yang pertama ingin ia lakukan adalah menonton TV?
“Souta…”
“Bisakah kau menyalakan TV untukku, Bu?”
“Souta…”
“Ya, Bu?”
“Souta…”
“Ibu nggak apa-apa?”
Kurasa aku sedang berhalusinasi... atau mungkin justru kelelahan. Apapun itu, aku memutuskan naik ke kamar, minum obat, dan tidur.
Keesokan harinya, dia masih di dapur. Masih menatap layar TV hitam.
“Souta, kenapa kamu di sini?”
Ia terlihat bingung, memandang ke langit-langit, mencoba mengingat.
“Lucu ya, aku juga nggak tahu! Aku bahkan nggak ingat gimana caranya aku bisa masuk rumah.”
“…Souta, kamu sudah mati!”
Ia menatapku lama. Aku menjelaskan apa yang terjadi, tentang kematiannya, tentang pemakamannya. Ia hanya diam mendengarkan. Aku menangis di tengah cerita, dan dia menepuk bahuku. Aku tak merasakannya, tapi aku tahu ia bermaksud menghiburku. Anak yang sangat perhatian.
Ia sama seperti dulu, tapi tak bisa menyentuh apa pun. Aku mencoba memberinya makan, tapi sumpit tak bisa ia pegang. Saat kuambil makanan yang jatuh ke lantai, ia berkata ia tak bisa merasakan apa pun, tapi selain itu ia baik-baik saja. Maka begitulah, aku menyalakan TV dan membiarkannya menonton, membalik halaman koran agar ia bisa membaca, dan menjalani hari seperti biasa. Suamiku tidak bisa melihatnya, dan aku pun tidak cerita.
Aku kemudian memahami bahwa Souta terikat dengan potongan tulang miliknya yang aku ambil dari pemakamannya. Ia tak bisa pergi jauh dari tulangnya.
Awalnya, aku mengira dia adalah arwah pendendam yang menghantuiku dan hendak menuntut balas karena aku tidak cukup menyayangi dan membantunya, namun itu jauh dari kenyataan. Tidak ada tanda bahaya, tidak ada tanda keburukan. Dia anakku, persis seperti kala dia masih hidup. Akupun, dengan segala batasan yang baru, tetap merawat dan menyayanginya.
Beberapa tahun berlalu. Souta tidak menua sedikit pun. Jerawat remaja di pipinya masih sama, potongan rambutnya tak berubah, pakaian yang sama tanpa noda.
Suatu pagi ia memandangku serius.
“Ada apa?” tanyaku.
“Ibu… aku bosan. Aku sangat bosan.”
“Mau Ibu belikan langganan TV dengan lebih banyak saluran?”
“...Aku butuh orang untuk diajak bicara. Kesepian ini membuatku gila!”
Hatiku perih mendengarnya merasa kesepian, meski aku bersamanya setiap hari. Tapi aku mengerti—setiap orang butuh teman seusia. Jadi aku meminta suamiku memasang Internet. Kami membuat akun Reddit, dan aku mengetik semua yang ingin Souta katakan. Kami membaca postingan, bercakap dengan orang-orang. Tapi itu tidak cukup. Aku melihat tatapan sedihnya, senyum tipisnya, dan cara ia menatap iklan-iklan “vulgar” di sudut layar, yang membuatnya malu tapi penasaran. Ia sudah dewasa, memiliki kebutuhan yang tak bisa dipenuhi oleh ibunya, dan perasaan malu yang tak terucap.
Aku mencintai anakku lebih dari apa pun. Dan aku menyadari… hanya ada satu cara untuk menolongnya.
Ia pernah bercerita tentang teman-teman kampusnya, betapa mereka sangat baik dan dia terkadang kangen dengan suasana itu. Aku kemudian menyelinapkan tulangnya ke dalam tas, dan menghadiri acara wisuda di universitasnya. Ia ikut, tak terlihat oleh orang lain, menatap teman-temannya yang tumbuh dewasa dan melangkah maju di panggung dengan toga, sambil menerima penghargaan. Beberapa dari deretan mahasiswa itu mengenaliku (teman-teman Shota), menyapa dengan hormat, merasa kasihan pada ibu yang datang menghadiri wisuda anaknya yang sudah tiada.
Dan di antara mereka, ada seorang gadis cantik dari kelas matematikanya—rambut panjang dikepang rapi, dihiasi pin bunga, mengenakan pakaian wisuda dengan anggun. Cara ia menatapku dengan malu-malu begitu manis. Ia sempurna.
Aku kemudian mengikutinya setelah upacara, dan… mencekiknya di pinggir jalan. Aku lalu memotong sedikit rambutnya, berharap itu cukup. Aku letakkan di bawah bantal, di samping tulang Souta, dan tidur dengan harapan. Tapi keesokan harinya, Souta masih sendirian.
Karena kami tak begitu kenal, aku tak diundang ke pemakamannya. Sayang sekali. Tapi masih banyak gadis lain di luar sana, salah satunya pasti ditakdirkan untuk Souta.
Minggu berikutnya, aku pergi sendirian ke resor di utara negeri. Aku membawa tas berisi tulang Souta ke pemandian umum. Souta menatap setiap gadis muda yang lewat. Mungkin standarnya tak setinggi dugaanku. Malam itu aku mengajak salah satu gadis minum, kami mabuk, lalu pergi ke pemandian untuk “menyegarkan diri.”
Aku menenggelamkannya.
Mereka menyimpulkan ia terpeleset mabuk dan tenggelam karena kecelakaan. Aku berpura-pura histeris dan meminta diundang ke pemakamannya. Di sana, aku kembali menyelundupkan sepotong tulang ke tas dan membawanya pulang.
Keesokan harinya, gadis itu muncul di dapur, berbicara kikuk dengan Souta. Saat melihatku, ia menjerit ketakutan. Souta berusaha menenangkannya. Tapi kami punya banyak waktu. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja.
Beberapa minggu kemudian, dia berhenti menjerit.
Beberapa bulan kemudian, aku melihat mereka berpegangan tangan.
Beberapa tahun kemudian, mereka pindah ke kamar suamiku, dan aku membiarkan mereka berdua. Souta, selamanya muda, begitu bahagia.
Istrinya, Akari, akhirnya berhenti membenciku. Mereka tampak sempurna bersama. Hampir sempurna.
Setelah beberapa tahun, aku mulai mendengar mereka bertengkar. Tak butuh lama sampai Souta berkata ia sudah cukup, dan memintaku membawa tulang Akari pergi untuk dikubur dengan layak. Aku menuruti. Saat kremasi tulang terakhirnya kulaksanakan, hantu arwah itu mulai hilang secara perlahan. Di tengah air matanya, ia mengutukku. Gadis yang kasar sekali, pikirku. Salah pilih rupanya.
Minggu lalu, Souta tampak murung lagi. Kurasa ia kesepian. Belakangan aku sering melihatnya menghela napas saat menonton drama keluarga di TV.
Mungkin kali ini aku akan mencarikannya gadis yang baik, manis, dan siap membangun keluarga.
Jika kau tertarik, tolong kabari aku.
.
.
End.
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
0 Response to "20 Tahun/Laki-laki/Jepang/ Mencari Istri"
Post a Comment