v Laughing Plague, Tertawa Sampai Mati | UNSOLVED INDONESIA

Laughing Plague, Tertawa Sampai Mati


Charles Dickens pernah mengatakan, “Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih menular dibanding tawa,” dan admin sangat setuju, pasalnya secara harfiah tawa pernah menjadi wabah di salah satu belahan Afrika.  Warga Tanganyika, pernah mengalami epidemi aneh yang mana tertawa menjadi penyakit yang menular.

Kita semua pernah berada dalam salah satu situasi itu, ketika seseorang tiba-tiba tertawa histeris tanpa alasan yang jelas, menyebabkan reaksi berantai tawa yang memengaruhi anggota kelompok lainnya. Epidemi tawa mungkin terdengar seperti peristiwa yang menyenangkan dan memebahagiakan bagi siapa saja. Tetapi pada kenyataannya, ini bukan lelucon; pasalnya dampaknya dapat dengan cepat meningkat menjadi kondisi medis yang parah.

Meskipun tertawa dianggap sebagai bentuk obat alami dan telah digunakan sebagai alat terapi selama bertahun-tahun, ada aspek negatifnya. Tertawa yang berlebihan dapat menyebabkan sakit dan perubahan perasaan yang ekstrim.

Wabah Tawa Tanzania

Contoh paling terkenal dari epidemi tawa terjadi pada tahun 1962 di Tanzania (Tanganyika pada waktu itu). Itu bermula dari tawa polos antara dua gadis di sekolah asrama di desa Kashasha. Tawa riang itu dengan cepat menyebar menjadi tawa histeris yang menyebar seperti api di seluruh sekolah, mempengaruhi 95 dari 159 murid.

Meskipun begitu, staf pengajar tidak terpengaruh oleh tawa itu. Mereka melaporkan bahwa tidak mungkin untuk bekerja dalam kondisi seperti itu sehingga sekolah terpaksa ditutup beberapa bulan kemudian. Fenomena aneh ini menyebar ke 14 sekolah dan mempengaruhi lebih dari 1.000 orang. Epidemi tertawa berlangsung dari enam bulan sampai satu setengah tahun

Penelitian Kasus

Christian F. Hempelmann dari Universitas A&M Texas telah melakukan penelitian yang luas tentang kejadian ini, menjelaskan bagaimana perilaku aneh ini menyebar: Orang-orang menganggap ini sebagai domino. Satu orang tertawa, lalu orang lain tertawa, lalu menyebar seperti longsoran salju. Jadi ketika orang tua menjemput anak-anak mereka dari sekolah, mereka mulai tertawa. Kemudian menyebar ke desa-desa lain, dan seterusnya.

Memang sih, tawa itu baik. Namun apabila berlebihan, bisa juga mengkibakan kematian. Tertawa mengakibatkan tekanan pada pernapasan; seseorang tidak bisa tertawa lebih dari 20 detik. Jadi, kedengarannya mustahil bagi satu orang untuk tertawa satu tahun tanpa henti, membuat fenomena ini lebih membingungkan.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Hempelemann berpendapat bahwa fenomena ini tidak ada hubungannya dengan humor (atau hal yang lucu) karena ada orang yang menunjukkan gejala terkait kecemasan mulai dari ruam, nyeri, pingsan dan kadang-kadang masalah pernapasan. Tawa hanyalah salah satu gejalanya.

Fenomena itu berlangsung satu tahun, tetapi bukannya terus-menerus, itu terjadi seperti sesak nafas, terkadang ada juga hari yang normal, tetapi kadang ada kambuh nya. Banyak yang mempercayai, apa yang terjadi adalah histeria massa, yang biasanya terjadi pada orang yang mengalami stres kronis.

Hempelmann menjelaskan, Fenomena ini disebut sebagai Mass Psychogenic Illness (MPI). Ini psikogenik, artinya penyakit itu datang dari diri dalam orang yang mengidap penyakitnya. Bukan dari Vaktor luar seperti Virus atau bakteri.

Ada faktor stres bersama yang memicu munculny penyakit ini. Ini biasanya terjadi pada sekelompok orang yang lemah (secara apapun). MPI adalah pilihan terakhir bagi orang-orang dari status rendah. Ini cara mudah bagi mereka untuk menyatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Kasus ini lebih sering dialami wanita.


Meskipun Tangyanka sekarang sudah bubar (karena berganti menjadi Tanzania) dan tidak ada catatan yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut, peristiwa psikologis serupa dijelaskan selalu terjadi setiap minggu di seluruh dunia.

Baca Juga :
Yth Pembaca,
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih

1 Response to "Laughing Plague, Tertawa Sampai Mati"