v The Holders Series Chapter 138 : The Holder Of Denial | UNSOLVED INDONESIA

The Holders Series Chapter 138 : The Holder Of Denial

From Theholders.org

Translated By Admin

Petunjuk yang bersangkutan dengan Obyek ini, tertuang dalam sebuah Surat yang sangat terkenal di kalangan para Seeker. Surat tersebut, berisi beberapa lembar cerita bersudut pandang orang pertama yang asal muasalnya, tidak diketahui :

Kepada, Ibu

Dari, Anakmu yang Sudah menjalani Hidupnya sendiri.

Bu, Apa kabar, aku harap kau baik. Sudah sekitar 8 tahun aku tidak menulis surat atau memberi kabar padamu. Sebelumnya aku ingin minta maaf karena aku kabur dari rumah kala itu. Entah kau masih tinggal disana atau tidak, yang jelas, aku akan mengirimkan surat ini ke alamat lama kita yang dulu.

Semenjak kepergianku, hidup memang awalnya susah, namun, seiring berjalannya waktu, aku dapat mengatasinya bahkan aku berhasil menyelesaikan kuliahku dengan biaya dan kerja keras sendiri.

Semenjak saat itu, aku memulai pekerjaanku sebagai pegawai dan bekerja di banyak rumah rehabilitasi dan rumah sakit jiwa di seluruh negeri, di kota-kota yang tak terhitung jumlahnya. Pekerjaannya tidak buruk dan bayarannya sedikit lebih baik daripada kebanyakan pekerjaan kasar yang pernah aku lakukan.

Awal karirku, aku memang mencoba menjadi gadis yang baik, bersikap baik dan sopan kepada orang lain. Sayang, pekerjaanku memengaruhiku dan memaksaku menjadi orang yang berbeda.

Untuk membantu yang sakit dan patah hati, Kau perlu mengeraskan hati dan menerima kebenaran yang tidak menyenangkan tentang orang lain. Terimalah bahwa beberapa pecandu nyatanya tidak ingin bersih. Bahwa apa yang tampak seperti welas asih terkadang hanyalah pemuas imajinasi dari orang gila, dan bahwa beberapa orang benar-benar perlu dikendalikan demi kebaikan mereka sendiri.

Aku tidak akan menyebutkan nama atau lokasi tempatku bekerja sekarang. Hanya saja, aku sudah lama di sini. Ketika Aku pertama kali dipekerjakan, bayarannya rendah dan jam kerjanya memang singkat. Tentu, aku diharuskan untuk tidak boleh mengeluh.

Kala itu, aku telah bekerja di bagian penerima tamu selama satu atau dua minggu ketika seorang pria masuk, berjalan dengan sengaja ke mejaku dan meminta untuk bertemu dengan sosok yang menyebut dirinya “Pemegang Penolakan” [The Holder Of Denial]

Tentu aku merasa sangat kebingungan dengan permintaannya. Terlebih, dia malah kemudian menjadi tidak sabaran. Dia berteriak padaku dan aku tersentak. Dia bahkan memukul meja dan bersikeras agar dia dapat melihat The Holder Of Denial.

Aku masih berusaha menenangkannya ketika atasanku tiba-tiba datang untuk menengahi. Pak Musil, itulah nama atasanku, melihat pria itu sekali dan pria itu terdiam.

Pak Musil lalu mengangguk kepadaku, sebelum berkata "tidak apa-apa," dan memimpin pria itu menyusuri lorong. Pria itu sempat menoleh ke arahku dengan senyum muram di wajahnya. Aku tentu sedikit sebal dengannya. Kemarahannya tidak beralasan dan mengetahui bahwa pria itu langsung tenang setelah bertemu atasanku, membuatku terlihat tidak kompeten dalam pekerjaan ini.

Semenjak hari itu, akan banyak lagi orang yang datang dan menuntut hal yang sama, untuk bertemu dengan The Holder Of Denial. Semua akan berteriak dan membuat keributan hanya untuk menenangkan diri begitu Pak Musil datang dan membawa mereka pergi.

Tentu yang paling aneh, adalah orang-orang yang diantar masuk menyusuri lorong tersebut, tidak pernah aku lihat lagi kembali dan keluar melalui pintu depan. Awalnya sih, aku mengira mereka mungkin keluar dari pintu lain karena institusi tempat aku bekerja ini, memang memiliki lebih dari satu exit point. Namun, di hari yang lenggang dan sepi, aku sempat iseng mencoba membuntuti Pak Musil dan salah satu pengunjung yang dia pandu karena penasaran, hanya untuk melihat apa yang mereka lakukan.

Setiap kali, rupanya Pak Musil akan membawa mereka ke sebuah pintu, mengunci mereka didalam dan pergi begitu saja. Aku tentu tidak pernah tau isi dibalik pintu tersebut karena aku memang tidak pernah bertanya. Bahkan jika aku bertanya pun, pak Musil hanya akan menepuk pundakku dan menyuruhku kembali bekerja.

Aneh sekali kan?

Pernah suatu kali, Pak Musil meninggalkan kunci dari ruangan misterius itu dikantornya dan aku hampir saja mencuri kunci tersebut karena rasa penasaranku sempat meguasai. Sayang ketika tanganku menyentuh kunci itu, aku merasakan rasa bersalah yang sangat kuat. Itu adalah perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, dimana aku merasa bahwa aku akan dihukum dengan hukuman yang sangat berat apabila aku mengambil kunci itu tanpa izin. Pada akhirnya, aku membatalkan niatku dan mengembalikan kunci itu pada tempatnya.

Pak Musil, pulang lebih awal malam itu.

Tidak sampai hari berikutnya, kabar yang sangat buruk diterima oleh institusi tempat aku bekerja. Pak Musil, dikabarkan kecelakaan dan meninggal dunia. Cerita kematiannya, entah kenapa tersebar dengan sangat menakutkan dikalangan para karyawan.

Rumor beredar tentang bagaimana dia, pak Musil, mengemudikan mobilnya bersama istri dan putranya melewati pembatas jembatan dan terjun ke sungai. Bagaimana jendela-jendelanya sengaja dibuka dan sabuk pengaman mereka sengaja tidak dipakai, dan bagaimana tampaknya tidak ada satupun dari mereka yang mencoba keluar dari mobil. Mereka semua duduk di sana sementara air sungai yang kotor mengalir masuk dan menenggelamkan mereka.

itu detail yang sangat aneh menrutku. Namun, siapalah aku kan? Aku tidak punya wewenang maupun bukti untuk membuktikan bahwa ucapan mereka salah. Meskipun seluruh ceritanya terdengar konyol, tapi terserah lah.

Oiya, Pak Musil dan keluarganya, dimakamkan satu hari kemudian. Di sebuah prosesi pemakaman yang tertutup. Tidak ada dari rekan-rekan kerjanya yang tau dimana dia akan dimakamkan jadi, tidak ada yang datang.

Memang sih, kematian Pak Musil sangat disayangkan. Yang membuat aku menepuk jidat adalah, aku baru paham kalau kematiannya akan sangat berdampak padaku karena, dikeesokan hari, aku baru ingat dengan nasib dari ‘orang-orang ini’

Yap, orang-orang random yang akan datang menemuiku di meja depan, dan meminta apakah mereka dapat bertemu dengan The Holder Of Denial, atau apalah. Jujur, hari itu, aku sedang tidak mau berhadapan dengan orang-orang tidak jelas yang akan marah-marah didepan mukaku tanpa alasan. Itulah kenapa, sesaat setelah absen pagi, aku memohon-mohon kepada temanku, Anya, untuk bertukar pos hari ini saja. Dia, akan menangani meja Resepsionis, sedangkan aku akan mengurus pendataan di ruang belakang. Beruntunglah aku karena Anya adalah orang yang dapat diandalkan.

Tentu aku sesekali berdoa bahwa hari itu adalah hari yang sepi dimana orang-orang tidak jelas itu, tidak akan datang. Sayangnya, aku bukan penentu takdir dan takdir nampak membenciku. 2 jam memasuk Shift kami, dan aku dapat mendengar Anya tengah berdebat dengan seseorang. Ketika aku mencoba mengintip, dia sedang mencoba menenangkan seorang Wanita hamil bermata merah yang sedang memarahinya. Alasan kemarahannya, sekali lagi adalah karena, dia ingin bertemu sosok yang menyebut dirinya The Holder Of Denial.

Aku awalnya hendak mengabaikan, dan berharap sang wanita hamil akan menyerah, ataupun Anya dapat mengatasi masalah ini lebih baik dariku. Namun setelah sekitar 8 menit berdebat, dengan dua pihak keamanan yang dipanggil Anya nampak tidak mampu membantu banyak, pada akhirnya aku merasa kasihan juga.

Aku yang tau satu-satunya cara untuk menenagkannya, memutuskan untuk pergi ke ruang pak Musil, mengambil kunci miliknya dan memandu sang perempuan tersebut ke tempat yang aku tau.

Perempuan itu nampak tenang ketika aku membawanya ke pintu di ujung lorong. Aku tidak gelisah meskipun aku bertanya-tanya apakah Pak Musil memiliki kebiasaan kembali untuk mengeluarkan mereka dari ruangan di kemudian hari. Pak Musil selalu mengunci pintu tersebut setelah mereka ada di dalam, jadi mereka pasti tidak keluar sendiri. Atau ada jalan keluar lain yang mereka gunakan? Itulah yang aku pikirkan.

Tapi yah, bodo amat lah. Selama orang-orang ini tidak berteriak-teriak di resepsionis, aku bersedia mengunci mereka di ruang manapun yang mereka mau.

Ketika aku kembali ke resepsionis, aku yang kasihan dengan Anya yang terlihat Syok, pada akhirnya menawarkan untuk bertukar pos kembali. Anya terlihat menghela nafas pelan sebelum mengiyakan.

Waktu Shift bergulir dan orang lain yang meminta untuk menemui Holder, datang kembali. Kali ini, adalah seorang pria muda. Dia baru saja akan mulai berteriak  ketika aku memotongnya, dan berkata “Aku hanya akan membawamu jika kau tenang dan bertanya dengan sopan.”

Dia nampak melihat sekeliling dengan ragu dan mengulangi permintaannya dengan nada yang lebih sopan. Dia, berbeda dengan orang-orang yang datang sebelumnya yang nampak tenang, terlihat gemetar dan gelisah ketika aku menuntunnya ke pintu. Aku melakukan hal yang sama kepada beberapa orang yang datang hari itu, memandu mereka dengan syarat mereka meminta dengan sopan. Semuanya, nampak gelisah dan ketakutan ketika aku antar ke pintu.

Sejak saat itu, aku akan selalu menuntut siapa saja untuk meminta dengan sopan ketika mereka datang untuk menemui The Holder Of Denial. Orang-orang yang datang, kebanyakan laki-laki tapi ada juga perempuan. Hampir semua dari mereka akan memasang raut masam dan gelisah ketika aku mengantarkan mereka ke ruangan misterius itu.

Sekian waktu berlalu dan prosesi mengantar orang ini, sudah menjadi kebiasaanku. Aku bahkan kini memilih untuk membawa kunci ruangan itu kemanapun, alih-alih meninggalkannya di ruang pak Musil yang sudah tidak ditempati.

Sesekali, aku akan dengan seksama memperhatikan orang-orang yang datang tersebut dengan pandangan menyelidik. Orang-orang yang datang itu, jelas sangat random dari berbagai kalangan masyarakat. Pasalnya, tidak ada ciri khusus yang akan membuat mereka sama dengan yang lain. Maksudku, disatu kesempatan, akan datang orang yang berpakaian compang-camping namun, dikesempatan lain orang berjas resmi lah yang datang. Ada juga yang bertato dan memiliki banyak bekas luka seperti preman, sedangkan ada pula sosok yang berpakaian culun. Untuk para wanita pun, ada yang anggun, ada juga yang berpakaian sangat vulgar. Satu-satunya kesamaan yang akan mereka bagi, adalah fakta bahwa tidak ada yang akan keluar dari ruangan itu setelah masuk.

Ibu boleh menganggapku gila namun, setelah cukup lama mengantar orang-orang ini, pekerjaan ini tumbuh dalam diriku. Mengantar mereka, aku merasa seperti seorang ibu yang membesarkan anak. Perasaan puas akan muncul di dalam diriku ketika aku mengantar orang-orang yang arogan kedalam sedangkan, perasaan sedih dan takut, akan ikut aku rasakan ketika aku mengantar orang-orang yang lemah lembut dan baik. Perasaan itu, mungkin hanyalah buah dari imajinasiku yang terlalu liar namun, karena beberapa alasan, membuatku teringat padamu.

Ibu mungkin bertanya kenapa aku tidak mengecek sendiri dan masuk ke ruangan itu untuk melihat apa yang terjadi. Well, rasa penasaran akan ruangan itu sudah perlahan menghilang seiring berjalannya waktu. Aku sangat yakin bahwa sudah pasti akan ada pintu kedua di ruangan itu yang mengarah keluar dan apapun yang mereka lakukan didalam, bukanlah urusanku.

Oke, mari aku luruskan satu hal. Cerita-ceritaku diatas mungkin akan terdengar seolah-olah orang-orang ini datang setiap hari. Namun nyatanya, mereka sebenarnya datang sesekali dan secara acak. Kedatangan 2-3 orang dalam sehari, adalah hal yang sangat langka. Kadang-kadang bulan akan berlalu tanpa ada satupun orang yang datang untuk meminta menemui Holder.

Dahulu, seniorku akan selalu menegurku atas kebiasaan burukku seperti keterlambaan, malas-malasan, menyelinap keluar dan sebagainya. Sekarang, entah kenapa tidak ada yang mau menegurku apabila aku melakukannya. Apakah ini karena aku menuntun orang-orang itu ke pintu tersebut? Aku sempat mengingat bahwa Pak Musil dahulu memang sangat slengek-kan. Dia adalah tipikal orang yang akan bersikap seenaknya di jam kerja. Bahkan, ketika dia merokok di dalam ruangan pun, tidak ada yang berniat menegurnya. Padahal ada kebijakan anti merokok di tempat ini.

Tanpa sepengetahuanku, bahkan apabila aku melakukan kesalahan yang sangat fatal hari ini, akan ada saja orang-orang yang akan menutupi kesalahanku. Seakan, mereka mencoba sebisa mungkin agar aku tidak dipecat dan tetap dapat melakukan pekerjaanku.

Pokoknya, semua berjalan lancar selama beberapa waktu. Itu sebelum satu hal yang cukup aneh terjadi.

Suatu ketika, aku sedang duduk di taman institusi untuk memakan roti isi yang merupakan makan siangku. Diseberang tempatku duduk, adalah sebuah tembok institusi yang tidak memiliki jendela. Awalnya, aku tidak memperhatikan namun beberapa detik setelah menatap tembok itu sembari mengunyah makan siangku, sebuah pertanyaan menghampiri kepalaku.

Tunggu, jika logikaku tentang tata letak gedung benar, maka seharusnya tembok itu adalah salah satu bagian dari ruangan yang misterius itu kan? Pikirku.

Pertanyaan itu, membuatku tanpa alasan mengitari seluruh gedung untuk mencoba mencari pintu keluar lain, yang mungkin bisa digunakan oleh orang-orang yang aku kunci di dalam ruangan misterius tersebut. Hasilnya? Nihil. Tidak ada pintu keluar dalam bentuk apapun yang dapat digunakan orang-orang tersebut apabila aku mengunci mereka di dalam. Lah? Kok bisa?

Aku memang belum pernah melirik lama ke dalam ruangan itu, bahkan ketika mengantar orang-orang tersebut masuk. Meskipun aku melirik cukup lama pun, hanya akan ada kegelapan yang membuat isi ruangan itu tidak tampak.

Otakku yang iseng pun bahkan sempat bercanda bahwa apabila mereka masih di dalam, pasti mereka sedang desak-desakan dong? Haha. Disisi lain, otakku juga mencoba merasionalkan fenomena ini dengan berpikir, ah, mungkin ada pintu yang menuju ruang bawah tanah atau semacamnya. Yap, pasti itu! Semacam pintu bawah tanah yang mungkin, mengarah ke tempat suci dan orang-orang itu tengah bersemedi atau apalah.

Atau mungkin mereka adalah bagian dari sekte tertentu? Hmm.

Tanpa sadar, aku sudah mulai memupuk niat untuk mencoba memeriksa ruangan itu sendiri. Namun, setiap kali aku ingin melakukannya, akan selalu ada saja pekerjaan tambahan yang harus aku lakukan. Bahkan jika itu di akhir shift pun, rasa penasaranku tidak cukup kuat untuk mengalahkan rasa capekku dan aku memutuskan untuk pulang saja.

Menyangkut ruangan itu, aku akan selalu berpikir “Besok saja lah aku cek”, namun ketika hari esok tiba, pikiran itu tidak berubah : Besok saja lah aku cek”, Seakan ada kekuatan yang mencegahku untuk memasukinya.

Suatu ketika, saat aku sedang menunggui meja resepsionis, aku menyadari terdapat sebuah tombol di bawah meja depan. Aku tentu sedikit bingung. Apakah tombol itu selalu ada disini?

Ketika aku raba, tombol ini nampak keras. Jika dilihat pun, tombol itu berwarna kuning dan memiliki semacam hiasan permata di sampingnya. Aku sudah mencoba menekan tombol itu berkali-kali karena iseng namun, tidak ada yang terjadi.

Hingga suatu hari, aku secara tidak sengaja menekan tombol itu ketika seorang yang hendak bertemu Holder datang padaku. Ketika aku menekan tombol tersebut, lampu di sekitarku akan mulai berkedip sebelum kemudian bersinar dengan sangat terang dan membutakan. Bersamaan dengan hal tersebut, semacam angin yang membekukan akan melewati badanku sebelum kemudian menghilang begitu saja. Itu adalah fenomena sekilas namun, orang yang mendatangiku tadi akan hilang ketika cahaya itu kembali normal. Menyisakan semacam noda hitam ditempat dia berdiri dimana aku pada akhirnya harus membersihkannya.

Tentu itu adalah hal yang sangat aneh! Aku bahkan mencobanya kembali ketika ada orang yang lain datang hanya untuk memastikan aku tidak gila! Dan coba tebak? Kejadian yang sama terulang kembali!

Maksudku, apaan coba?!

Oke, aku tau itu aneh namun, ketika aku bertanya kepada beberapa seniorku tentang tombol itu, mereka akan sekilas mengecek dan menekan-nekannya secara asal sebelum mengangkat bahu, mengatakan bahwa tombol itu mungkin memiliki sambungan elektronik ke lampu atau semacamnya. Yap, jawaban yang tidak memuaskan. Hal itu juga tidak menjelaskan sebagian besar fenomena yang aku alami.

Aku tentu tau bahwa itu tidak mungkin hanya sekedar kesalahan sambungan listrik. Soalnya, aku beberapa kali coba menggunakannya ketika pengunjung datang dan cahaya lampu yang menyilaukan itu akan kembali, hanya ketika aku tekan di depan pengunjung yang hendak mengunjungi Holder dan harus ku antar menyusuri lorong.

Bu, kau tau kan dahulu anakmu ini sangat takut dengan hal-hal mistis? Well, aku tidak mau bilang kalau ini adalah hal yang seperti itu namun, tidak ada penjelasan lain yang bisa menjelaskannya.

Meskipun, sebenarnya ‘menghilangkan’ orang-orang tersebut hanya dengan menekan satu tombol memang sangat praktis dan membuatku menghemat energi. Oke, aku tidak berbohong ketika aku bilang bahwa para pengunjung Holder tersebut akan hilang ketika aku menekan tombol ini dan cahaya datang. Bahkan, aku sesekali akan menekan tombol tersebut ketika orang yang datang adalah orang yang tidak sopan dan menjengkelkan.

Tanpa sadar, aku akan lebih sering menekan tombol tersebut agar aku tidak mengirim orang-orang ke ruangan di ujung lorong. Toh mereka yang masuk juga tidak pernah keluar, ngapain juga memasukan orang lain?

Well, hampir semuanya tidak pernah keluar. Kecuali satu orang.

Kala itu, pengunjung lain yang datang adalah seorang pria. Aku awalnya sangat tidak menyukainya karena pakaiannya yang aneh dan dia memiliki raut wajah menakutkan dengan mata yang kosong. Seakan, dia sudah begadang selama beberapa hari.

Aku bahkan sudah menempatkan tanganku di tombol dan sedetik setelah dia berbicara, aku akan menekan tombol ini. Namun, pria tersebut rupanya sangat sopan. Dia menyempatkan diri untuk mengusap mukanya, menyisir rambutnya sebelum kemudian meminta tolong padaku dengan kalimat yang sangat kalem dan halus. Berkata bahwa dia hendak bertemu dengan sosok yang menyebut dirinya The Holder Of Denial.

Entah karena senyumnya yang tulus, ataupun pembawaanya yang halus. Namun pada akhirnya, aku memutuskan untuk membawanya menyusuri lorong ke ruangan yang ada di pojok.

Beberapa orang yang aku tuntun, akan dengan jelas memperlihatkan ketakutan mereka, sebagian yang lain, nampak mampu menahan ketakutan itu dan memberikan raut santai dan berani meskipun terlihat dibuat-buat. Namun, orang ini berbeda. Dia sangat percaya diri. Terlampau percaya diri malah. Dia bahkan sempat bersiul dan bersenandung ketika aku memandunya menyusuri lorong.

Entah kenapa, siulannya yang menyebalkan membuatku puas ketika aku berhasil menguncinya di dalam ruangan di ujung lorong. Tentu, demi apapun, aku tidak mengharapkan dia kembali. Toh, orang sesopan dia, juga pernah aku temui di awal-awal aku melakukan hal ini dulu dan perempuan tersebut, tidak pernah kembali.

Aku kembali ke pos kerjaku sekitar siang hari dan melanjutkan untuk menyibukkan diri dengan dokumen. Itu adalah saat aku mendengar langkah kaki dari lorong yang sekarang, telah aku lewati lebih dari 100 kali.

Tentu betapa terkejutnya aku ketika aku melihat pria bersorot mata kosong yang aku antar dan aku kunci di ruangan beberapa jam lalu, kembali dengan santainya. Ditangannya, dia membawa sebuah benda yang ditutupi rambut, atau bahkan terbuat dari rambut.

Aura pria tersebut berubah menyerampkan dan entah kenapa membuatku takut. Aku, dengan reflek mencoba menyentuh tombol yang ada di meja resepsionis ketika dia berjalan melewatiku. Sayang, aksiku itu ketahuan dan dia langsung melirikku, sebelum kemudian bergerak dengan kecepatan diluar batas normal untuk memegang tanganku dan menghentikan niatku.

Aku merasa kacau, bibirku kering dan lututku lemas. Secara naluri, aku merasa bahwa nyawaku tengah berada dalam bahaya. Itulah kenapa, aku kemudian mengumpulkan setiap tenaga yang aku bisa untuk bertanya padanya. Itu adalah kalimat spontan yang tidak aku pikirkan secara dalam : “Apa yang akan kau lakukan padaku?”

Tentu aku pikir dia akan membunuhku saat itu juga. Namun nyatanya, apa yang dia lakukan setelahnya adalah hal yang lebih buruk. Dia akan bercerita. Menjelaskan banyak hal kepadaku. Dia memberi tahuku  atas apa yang terjadi pada setiap orang yang aku kirim ke ruang misterius di ujung lorong. Informasi itu akan sangat rinci, dari tes yang mereka gagal untuk jalani hingga siksaan yang mereka terima karenanya.

Dia, juga akan meberitahuku tentang para pengunjung, atau Seeker (begitulah dia menyebutnya), yang menghilang karena cahaya terang yang disebabkan oleh tombol yang ada di bawah meja. Menjelaskan makhluk apa yang menyeret mereka dan membinasakan mereka karena aku, sang “kaki tangan” Holder menyeleksi mereka secara semena-mena.

Dia, juga akan menjelaskan siapa diriku di institusi ini. Rahasia apa yang berada di bawah tanah ini, dan benda apa yang dia bawa pergi dari ruang misterius di ujung lorong. Semuanya, akan sangat jelas.

Semuanya, membuatku semakin ketakutan dan merasa bersalah. Aku sempat mencoba memohon di hadapannya untuk dibantu dan dia, hanya menjawab bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan.

Pada akhirnya, setelah menyelesaikan urusannya, dia akan pergi begitu saja dan meninggalkanku.

Ibu, semenjak saat itu, aku masih bekerja di institusi ini sebagai resepsionis. Gambaran dan ingatan atas apa yang terjadi kepada keluarga Pak Musil, membuatku takut untuk meninggalkan pekerjaan ini. Aku tidak mau bernasib sepertinya dan itulah kenapa aku memutuskan untuk tinggal.

Sesekali, akan ada beberapa Seeker yang datang untuk minta bertemu dengan sang Holder. Mengetahui fakta bahwa menekan tombol maka kematian instan untuk mereka, maka aku sebisa mungkin mengirim mereka semua ke ujung lorong dan berharap mereka berhasil menjalani ujian apapun yang ada disana dan pulang dengan selamat.

Menyuruh mereka pergi, tidak pernah berhasil karena mereka akan sangat marah dan mengamuk bahkan ketika aku berkata Obyek sudah diambil oleh seseorang, mereka hanya akan menudingku sebagai pembohong. Aku juga tidak paham apakah obyek tersebut bisa dicari lagi apabila Obyek sudah dibawa pulang oleh orang lain. Yang jelas, semenjak orang itu keluar dan membawa obyek, Seeker-Seeker lain yang masuk setelah dia memang tidak pernah kembali.

Pria itu sempat menjelaskan, kalau benda yang dia bawa adalah Trichinobezoar, Obyek ke 138 dari 538.

Untuk sekarang, aku akan tetap berada disini, menjadi kaki tangan Holder sampai rasa bersalah karena membawa celaka kepada orang-orang tak berdosa, tidak akan mampu aku tanggung lagi.

Jika itu terjadi, aku mungkin akan memasuki ruangan itu sendiri dan mengkonfrontasi sang Holder secara pribadi dan atau mati dalam prosesnya.

Maafkan aku karena aku tidak bisa menjadi anak yang berbakti. Selebihnya, terimakasih atas semuanya ibu,,,

Salam dari anakmu,

[Nama terlihat terkena noda tidak bisa dibaca]

Baca The Holders Series Lainnya

Yth Pembaca,
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih

3 Responses to "The Holders Series Chapter 138 : The Holder Of Denial"

  1. O ini toh si resepsionis yg biasa nganterin para seeker ke lokasi holder yg mereka cari.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yap... Well, sebenarnya resepsionis yang diceritakan di chapter2 lain udah pasti beda2 tapi chapter ini memang menceritakan cerita dari sudut pandang si resepsionis di tempatnya holder of denial..
      ..
      Menurut admin, chapter ini menegaskan bahwa pada dasarnya para resepsionis yang ada di rumah sakit jiwa atau rumah rehabilitasi yang bisa dikunjungi, mayoritas adalah manusia biasa seperti para seeker dan bukanlah "mahluk-makhluk" Tertentu seperti para Holder dan antek2 mereka.

      Delete
  2. Tentu tombol tersebut akan lebih sering digunakan apabila resepsionis itu seorang pecandu game online.

    ReplyDelete