v The Finding Father Chapter 8 : Hearts | UNSOLVED INDONESIA

The Finding Father Chapter 8 : Hearts

Bagian Kedelapan dari Serial Finding Father

Sesekali, aku mencoba mengingat kembali "masa lalu". Ketika hal-hal tidak begitu rumit. Sayangnya, aku tidak bisa, karena semuanya memang selalu serumit ini, aku hanya belum mengetahuinya.

.

.

Bagi kebanyakan orang, ini hanyalah pemadaman listrik sederhana yang tidak terlalu menggangu. Namun, bagiku, ini adalah sebuah petunjuk.

Seperti itulah hidupku sekarang; petunjuk demi petunjuk akan terlihat, hanya untuk mengungkap pertanyaan demi pertanyaan yang membuat semuanya menjadi semakin rumit. Ketidaktahuan adalah kebahagiaan, dan itu memang benar adanya.

Meskipun begitu, ada perasaan di dalam diriku yang memaksaku untuk terus mengejar petunjuknya. Entah itu didasari dari apa, namun itulah yang pada akhirnya membuatku masuk ke rumah Derrick Todd, padahal besar kemungkinan makhluk itu ada didalam.

Untuk beberapa alasan, udara di dalam sangat lembab. Bau sesuatu yang kuat memenuhi rumah. Aku memasuki ruang tamu. Ingatan saat pertama kali aku berada di rumah ini terus berputar di benakku.

Itu terjadi berhari-hari yang lalu, namun rasanya seperti kemarin. Aku mencari di sekitar ruangan. Aku tidak punya rencana. Aku tidak punya senjata. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan jika salah satu makhluk itu menyerangku. Tapi disisi lain, aku tidak peduli. Aku merasa harus membantu Todd, karena aku ingin melakukan sesuatu kali ini, hanya untuk mencegah kejadian kepada Thomas tidak terulang kepadanya.

Selesai memeriksa ruang bawah, aku melanjutkan ke lantai 2. Aku melangkah cukup pelan karena tangga ini berderit ketika diinjak. Jelas aku tidak ingin menarik perhatian siapapun, terlebih makhluk hitam yang kemungkinan ada disini.

Setelah ada diatas, aku mulai samar-samar mendengar suara. itu milik Todd. Aku berjalan mendekati sumbernya, berusaha setenang mungkin. Aku hanya bisa mendengar sedikit saja.

“Tidak, tidak, dengar. Dengarkan aku. Aku tahu kau bisa. . . Aku ingin kau memberi tahu mereka. . .berbohong padamu, dia berbohong padamu. . . pokoknya entah bagaimana. . . okelah. . .selamat tinggal.”

Aku berada tepat di dekat pintu, bahkan berusaha untuk tidak bernapas, seakan itu akan mencegahku mendengar semuanya. Kemudian, aku mendengar seseorang bangun dari tempat tidur perlahan. Aku melangkah mundur, dan menguatkan diri.

Pintu terbuka, dan hanya sosok Todd saja yang ada disana.

Dia tampak sangat lelah. Dia tidak melakukan lebih dari sekedar berkedip ketika dia melihatku. Dia bertanya apa yang aku lakukan di sini. Aku bertanya kepadanya dengan siapa dia berbicara. Bukan siapa-siapa, katanya.

Aku menoleh ke dalam kamarnya, dan tidak ada apa-apa di kamar yang terlihat tidak biasa. Todd kemudian mengatakan kepadaku bahwa aku harus pergi, bahwa aku seharusnya tidak terlibat dengan hal-hal ini.

Dia mulai berpaling tetapi aku menghentikannya, aku muak, aku ingin tahu yang sebenarnya terjadi. Aku mendorongnya ke dinding. Aku mengatakan kepadanya jika dia tidak memberi tahuku apa yang dia tahu, aku akan memaksanya dengan cara apapun.

Dia hanya tertawa dan mendorongku menjauh darinya. Pada saat itu, Aku pikir aku mungkin benar-benar akan membunuhnya jika aku bisa. Ia berjalan ke bawah menuju dapur. Aku diam disana hanya sedetik sebelum aku mengikutinya.

Aku merasa seperti anak kecil yang tidak akan dipercaya oleh orang dewasa. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku serius. Dia mulai membuat minuman untuk dirinya sendiri.

“tsk, keparat.” Umpatku pelan.

Aku muak dengan semua orang yang menolak terbuka ini, jadi aku mencoba pendekatan lain. Aku mengatakan kepadanya bahwa seorang bernama “Louis Rockwell” telah mengunjungiku.

Entah kenapa, ketika dia mendengarnya, dia langsung menjatuhkan cangkirnya.

Ketika dia menatapku, aku hampir tidak mengenalinya. “Kau sangat mirip dengannya, kau tahu? Bajingan itu tidak pernah menerima tidak sebagai jawaban, dan lihat apa yang sekarang terjadi padanya?” Ujarnya, pasti merujuk kepada ayahku.

“Kau harusnya tau bahwa yang dia pedulikan hanyalah menjauhkanmu dari semua ini. Menjagamu tetap aman. Ya tentu, dia menemukan banyak hal yang sekarang kita ketahui, tetapi bukankah kita lebih bahagia jika tidak mengetahuinya?”

Dia kemudian menudingku dengan kasar.

“Kau pikir kau siapa, kesana kemari memaksa orang menjawab pertanyaanmu?! HAH?! Tapi begitulah dirimu, ya kan? Selalu ingin tau, dan tidak bisa diam saja seperti bocah lainnya!” lanjutnya, membuatku mengingat kembali hari dimana aku mengintip isi dari tas kerja Ayahku.

“Kau harusnya paham berapa lama ayahmu itu menderita atas semua yang terjadi. Segalanya tidak akan seperti ini semisal kau tidak mengintip obyeknya! Kau dan dia sama saja. Membuatku muak.”

Aku tidak bisa berkata-kata. Aku bahkan tidak yakin bagaimana aku harus membalas perkataannya.

Dia mengambil cangkir lain, dan mengambil sebotol bir. Dalam raut wajah yang kalut, dia merosot ke kursi. “Lari.” Ujarnya.

Aku tidak mengerti.

“Pergilah dan lari. Aku menyarankanmu untuk meninggalkan kota, mulailah hidup baru, yang jauh dari semua ini. Pokoknya, kau hanya perlu terus berlari!!” Lanjutnya, dengan nada seperti orang mabuk.

Aku masih diam.

“.. aku dan ayahmu, kita lah yang merencanakannya. Jika siklusnya telah hancur, maka matahari akan menghitam, dan umat manusia tidak akan ada lagi!! LARILAH!!! MESKIPUN ITU SIA-SIA!! POKOKNYA LARI!!!” ujarnya dengan teriakan

.

.

.

.

Mungkin karena krisis eksistensial, atau memang karena kata-kata Todd mempengaruhiku. Aku berlari keluar dari rumahnya dan terus berlari. Aku berlari sampai aku tidak bisa. Sampai sesak napas. Ketika aku akhirnya berhenti, hari masih gelap, tetapi tidak ada orang di luar.

Bahkan tunawisma sekalipun tidak ada di jalanan. Aku mulai berlari lagi. Aku berlari pulang. Disana, itulah yang mengejutkan. Perabotanku hilang, dua Obyekku hilang, semuanya hilang. Tidak ada apapun! ruangan disana kosong, seakan aku tidak pernah tinggal disana.

Aku berlutut, memegangi dadaku yang sesak nafas. Aku panik. Fuck! Fuck!! Apa yang sebenarnya terjadi padaku! Pada dunia ini!!

Aku tidak tinggal lama, aku memutuskan untuk terus berlari. Ketika hari mulai terang diluar, aku tidak merasa lebih hangat.

Seseorang telah menemukan rumahku dan mengosongkannya. Aku bahkan tidak berani lagi  repot-repot mencoba mencari tahu siapa yang melakukannya. Aku hanya ingin lari dan aku tidak tahu mengapa.

Ketika energiku habis dan kakiku sudah tidak mampu bergerak, aku tergeletak di sebuah taman. Dengan sisa-sisa tenagaku, aku berteriak. Aku menangis. Aku ingin jawaban. Aku ingin tahu yang sebenarnya. Aku merindukan Ayahku.

Aku pingsan.

.

.

Ketika aku bangun, matahari sudah tinggi..

... sayang, itu berwarna hitam pekat.

Yth Pembaca,
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih

0 Response to "The Finding Father Chapter 8 : Hearts"

Post a Comment