v Ieunitas, Infectus, Talius #11 : Resurrectium | UNSOLVED INDONESIA

Ieunitas, Infectus, Talius #11 : Resurrectium

 Diambil dari theholders.org

Ini adalah bagian kesbelas dari serial  ‘Ieunitas, Infectus, Talius’

.

 “Resurectium”

.

Perlahan-lahan aku terbangun, kesadaranku hidup bagaikan cahaya redup bara api yang sekarat. Mataku terbuka perlahan. Setelah beberapa menit melakukan upaya untuk sadar, mataku cukup fokus untuk memberi tahuku bahwa aku berada di rumah sakit, rumah sakit yang tampaknya merupakan anakronisme di abad ke-21, dengan tempat tidur dan meja kuno yang dilengkapi pengekang.

Di sekeliling, aku bisa melihat orang-orang, laki-laki dan perempuan, berkerumun melingkariku, tampak seperti dokter, semuanya berpakaian abu-abu yang serasi dengan warna bagian rumah sakit lainnya.

Mata mereka, atau yang tesisa darinya, semuanya terfokus padaku di balik masker bedah mereka, bahkan saat mereka melakukan tugas dan pekerjaan lainnya. Setelah beberapa menit, salah satu dari mereka berjalan ke tempatku berbaring.

Aku mencoba berbicara, tapi ternyata aku tidak bisa, dan aku juga mendapati diriku terkekang, terikat di tempat tidur. Petugas itu tanpa berkata-kata langsung mengambil jarum suntik berlumuran darah dari nampan di meja di sebelahku. Aku merasakan ketakutan yang tidak masuk akal pada alat itu ketika petugas yang tidak disebutkan namanya itu menusukkan jarum ke kulitku... kulitku?... kulit?!

Erangan tanpa kata keluar dari diriku saat aku melihat karapas keramik lapis bajaku telah hancur, hanya lapisan kulit menyedihkan yang tersisa di atas tulangku. Aku mengerang lagi dalam keputusasaan saat dokter mengambil darahku, cairannya memenuhi suntikan sampai garis paling atas. Aku kehilangan kesadaran lagi bersamaan dengan suara tangisanku yang tidak jelas.

.

Aku terbangun lagi setelah waktu yang tidak ditentukan dan melihat beberapa dokter yang mengerikan dan tidak memiliki mata berdiri di samping tempat tidurku, menatapku. Mereka semua diam, kecuali satu orang yang mengambil darahku dengan jarum yang tampak kuno. Yang bisa kulakukan hanyalah mengeluarkan suara gemericik yang lemah.

Dokter meletakkan jarum suntiknya dan mengambil jarum suntik lainnya, mengambil lebih banyak darah dariku. Dia mengambil yang lain, dan mengulangi prosesnya. Dan satu lagi. Dan satu lagi. Dia berhenti setelah jarum keenam, meletakkannya bersama jarum lainnya dan berjalan pergi. Pandanganku kabur, terancam pingsan. Tanpa aba-aba, tiba-tiba mataku kembali fokus, dan aku bisa melihat sosok yang kini berdiri di kaki tempat tidurku.

Edo Edi Essum.

.

‘Dimana? Dimana aku?’ aku membatin, bukan berkomunikasi menggunakan mulut.

Ini adalah tempat perlindungan. Realita ini tidak berada di dunia ini atau di dunia lainnya, tetapi tempat ini ada. Letaknya tidak pernah tetap, selalu berpindah-pindah, aman dari penyusup. Aku membawamu ke sini, untuk dibangkitkan kembali.

Dia, Essum. Berbicara lebih banyak dari biasanya. Sifatnya lebih manusiawi, tidak seperti monster kelaparan yang sempat kuketahui tidak memiliki jiwa.

‘Apa yang terjadi dengan pertarungannya?’

Ah, The Hollow Man, yang aku pikir bisa aku manfaatkan untuk keuntunganku, lebih merepotkan dari yang terduga. Dia menyegel sebagian besar energiku, menghilangkan kekuatanmu sepenuhnya. Kau sekarang sama seperti dulu: lemah dan menyedihkan. Aku akan membangunmu kembali sebagai wadah untuk kekuatanku.

‘Wadah?’

Ya, wadah. Sudah menjadi rencanaku untuk mentransfer kekuatanku padamu suatu hari nanti, tapi campur tangan The Hollow Man telah mendorong agenda itu datang lebih cepat. Dengan sebuah ‘wadah’, yang bisa aku gunakan untuk mengatur lebih banyak kekuatanku, aku pada akhirnya akan bisa memerintah sebagaimana seharusnya, dan semuanya akan berada dalam genggamanku. Apakah kau ingin kekuatanmu kembali, orang lemah yang menyedihkan? Atau apakah kau menginginkan semuanya dan lebih banyak lagi? Lebih dari yang bisa kau bayangkan?

“PEleDasOe, maEstDeIr ESSUM” aku menjawab dengan lirih, menggunakan pita suara yang terasa sakit saat bergetar. Jawabanku hampir tidak memerlukan pemikiran sedetik pun. Seakan itu benar-benar otomatis.

Essum berbalik, keluar dari ruangan. Sebelum dia pergi, dia mencondongkan tubuh ke arah salah satu dokter, salah satu bawahannya, dan membisikkan sesuatu. Budak itu mengangguk, dan berjalan ke tempat tidurku. Yang lain ikut berkumpul.

Ketakutan memuncak dalam diriku ketika mereka mulai memperketat pengekanganku. Aku meronta dan menendang, tapi entah aku terlalu lemah atau pengekangannya terlalu kuat. Aku ditahan dengan cepat.

.

Rasa takut muncul dalam diriku saat salah satu dari mereka mengambil pisau bedah dari nampan di samping tempat tidurku. Pisau bedah itu perlahan turun ke dadaku.

‘Tolong...Itu adalah permintaan yang datang jauh dari alam bawah sadarku. Permintaan yang tidak mendapat pengaruh dari ‘sihir’ Essum sama sekali.

Pisau bedah itu meresap ke dalam dagingku, dan aku mengertakkan gigi saat pisau bedah itu mengiris lingkaran sempurna yang lambat, menyakitkan, dan tepat di sekitar tulang dadaku. Dokter mengambil potongan daging yang melingkar. Dia menariknya dengan robekan yang memuakkan , suara yang menyebabkan empedu menumpuk di tenggorokanku.

‘... jangan....’

Dokter melanjutkan pemotongan, sesekali menarik bongkahan merah yang pasti merupakan otot. Aku mengerang kesakitan. Setelah beberapa saat, aku merasakan pisau bedah menusuk tulang dadaku.

‘.... tidak.’ Aku memohon untuk yang terakhir kalinya, tapi aku tahu itu tidak ada gunanya. Rasa sakitnya tak tertahankan, tapi kesadaranku sekarang setajam silet, merasakan pisau bedah membelah tulang dadaku menjadi dua.

Perjuanganku sia-sia saat dokter mencoba menggunakan pisau bedah untuk memotong salah satu tulang rusukku, membuat sayatan di tepi lingkaran tulangku yang terbuka. Aku terbaring ketakutan dan usahaku untuk melarikan diri semakin intensif ketika dokter meletakkan pisau bedah dan aku menyadari niatnya.

Dia meletakkan satu tangannya di tulang rusukku, dan tangan lainnya di tepi lingkaran. Dia mulai membengkokkan tulang rusukku ke belakang, ke arah dirinya sendiri. Aku merasakan sakit, tertekan, dan teriakan memilukan keluar secara sendirinya. Bahkan jika sekarang pita suaraku sedang tidak berfungsi dengan baik, teriakan itu sangat pekik dan tajam.

Aku merasakan semuanya, ketika salah satu tulang rusukku patah menjadi dua. Aku berteriak lebih keras, saat sang dokter melakukan hal serupa kepada tulang yang lain. Suara patahan ditambah dengan penderitaan dan kengerian, membuat pikiranku dipenuhi rasa jijik. Air mata mengalir di wajahku. Dokter tidak peduli. Dia terus mematahkan tulang rusuk yang lain. Dan kemudian lagi, dan lagi, sampai semuanya habis, memperlihatkan organ tubuhku.

Jeritanku mereda menjadi rintihan lembut saat dokter mengeluarkan gumpalan yang pasti adalah jantungku. Untuk beberapa alasan yang menyimpang dan terkutuk, aku mempertahankan kesadaranku saat dia mengeluarkan organ lain. Aku menyerah untuk bersuara, kepalaku terkulai ke samping saat aku menangis sia-sia.

.

Setelah beberapa saat, dokter mengambil dari meja sebuah pisau dengan ujung yang bergerigi tajam. Aku tidak bereaksi terhadap penerapannya; Aku tidak lagi peduli. Aku menjadi kaku saat bilahnya menusuk, dan menembus tulang belakangku, terus menggergaji tulang rusuk yang terhubung dengannya. Aku didera kesakitan, tapi mataku tetap setengah terbuka, air mata mengalir dari sana.

Dokter meletakkan gergaji, mengambil pisau bedah sekali lagi. Aku merasakan dia memotong daging di punggungku. Akhirnya dia menghilangkan potongan daging yang melingkar itu sebelum melangkah mundur untuk memeriksa hasil karyanya: sebuah lubang melingkar yang sempurna di seluruh tubuhku, dengan organ dan tulang di sekitarnya sama sekali tidak tersentuh. Akhirnya aku tenggelam dalam ketidaksadaran.

.

Aku terbangun kemudian, berharap tanpa keyakinan bahwa itu semua hanya mimpi buruk. Aku mencoba untuk bergerak dan berjuang, tapi aku segera menyadari bahwa itu sia-sia. Saat aku bergerak, aku melihat tuanku masuk ke dalam ruangan, ditemani oleh dokter yang melakukan operasi mengerikan ini padaku.

Edo Edi Essum memperhatikan aku sejenak sebelum berbicara.

Persiapannya sudah selesai. Sudah waktunya.

Ada cahaya yang menyilaukan. Aku menjerit kesakitan sebelum pingsan.

.

Ketika aku sadar kembali, aku merasakan sesuatu mengalir dalam diriku, sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Itu membuatku merasa hampir... tidak lengkap. Kosong.

Aku menggeser lenganku, dan pengekang tubuhku langsung putus. Melihatnya, aku dapat mengetahui bahwa lenganku telah berubah, sekali lagi menjadi keramik putih, penampilannya kini hampir seperti serangga, jari-jariku berakhir dengan ujung yang tajam dan jahat.

Senang karena rasa sakit telah berlalu, aku dengan mudah melepaskan penahan lainnya, melenturkan lenganku, mengaguminya. Aku menunduk ke kaki tempat tidurku, dan melihat jubah Edo Edi Essum tergeletak di lantai, seolah-olah jubah itu dikosongkan secara tiba-tiba.

Aku melihat ke bawah ke lubang di dadaku, dan di tengahnya aku bisa melihat bola api hitam sempurna yang berkobar tanpa suara. Aku melepaskan lebih banyak rantai pengekang, untuk mengenal tubuh baruku yang lebih kuat.

Seorang petugas tanpa mata masuk, rupanya untuk memeriksaku. Aku menyentuhnya, dan dia langsung lenyap, bahkan tidak punya waktu untuk menunjukkan keterkejutannya. Saat dia meninggal, aku merasa kenyang, lengkap sesaat sebelum perasaan hampa dan melonjak kembali, lebih kuat dari sebelumnya.

Aku berdiri, mengambil jubah Edo Edi Essum, jubahku, dan melilitkannya ke tubuhku. Tiba-tiba, aku sadar: Aku tahu perasaan apa yang melingkupiku ini. Aku tahu sensasi yang menyatu dalam diriku, meresap ke dalam diriku.

Itu adalah rasa lapar.

Yth Pembaca,
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih

0 Response to "Ieunitas, Infectus, Talius #11 : Resurrectium"

Post a Comment