v Istriku Memiliki Kebiasaan Baru, Yaitu Mengintip dari Sudut-Sudut Rumah | UNSOLVED INDONESIA

Istriku Memiliki Kebiasaan Baru, Yaitu Mengintip dari Sudut-Sudut Rumah

Crdited to Maliagirl1314

From r/nosleep

Translated by : Admin

Orginial title : My wife has been peeking at me from around corners and behind furniture. It's gone from weird to terrifying. 

Istri ku "Lynn" dan aku telah bersama selama enam tahun dan telah menikah selama 11 bulan. Seluruh sejarah kami bersama sangat normal dan tidak pernah sekalipun aku melihat perilaku aneh atau tanda-tanda bahaya. Itulah kenapa, ketika kebiasan kami berdua berubah secara drastis, aku tidak dapat cukup menekankan betapa tidak biasanya semua ini. 

Lynn sangat baik, cerdas, dan bijaksana. Dia selalu menjadi tipe orang yang tidak suka basa-basi. Bersikap kekanak-kanakan, atau mencoba menakut-nakutiku bukanlah sesuatu yang biasanya dia lakukan.

Dia bahkan tidak suka menonton film horor. Ketika kami pertama kali mulai berkencan, dia setuju untuk menemaniku menonton The Shining ketika saudaraku meminjamiku Kaset DVDnya, karena dia tahu betapa aku menyukai horor. Lynn begitu takut sehingga dia bahkan tidak berhasil menonton setengah film sebelum kami harus mematikannya. Dia tidak menyukai hal-hal yang menyeramkan, dan tidak pernah menyukai lelucon hantu. Itu bukan kesukaannya. Itulah kenapa, yang membuat ini semua sangat aneh.

Aku juga harus menambahkan bahwa dia tidak pernah memiliki masalah kesehatan mental dan sejauh yang ku ketahui, hal itu tidak pernah ada dalam keluarganya. Aku tahu beberapa orang mampu menyembunyikan masalah kesehatan mental mereka, tetapi dalam enam tahun kami bersama, bahkan jika benar Lynn punya semacam masalah gangguan mental, aku pasti paling tidak akan melihat tanda-tandanya. Nope

Dua bulan lalu, aku tengah berada di dapur untuk membuat kopi sebelum berangkat kerja. Aku agak terlambat pagi itu dan tahu aku tidak akan sempat pergi ke Dunkin Donuts untuk membeli kopi pagi seperti biasanya.

Aku menyeruput kopiku sambil bergegas menyusuri lorong menuju pintu depan, ketika aku kebetulan melihat Lynn mengintipku dari sudut lorong di depanku. Aku hanya bisa melihat matanya, dan sehelai rambut hitam panjangnya tergantung di dinding. Sisa tubuhnya tersembunyi di balik sudut. Aku hampir menumpahkan kopiku ketika melihatnya. 

"Astaga, Lynn." Kataku sambil menyeka beberapa tetes kopi dari celanaku. "Kau membuatku kaget."

Dia langsung menghilang dari pandangan seperti anak kecil yang tertangkap basah. Aku mendengarnya berlari cepat menuju ruang tamu, dan saat aku sampai di pintu depan, dia sudah tidak terlihat lagi.

Itu benar-benar aneh, dan sama sekali tidak seperti biasanya, seperti yang kukatakan, tetapi aku juga merasa agak lucu bahwa dia rupanya mempunyai humor kekanak-kanakan seperti itu. Aku berteriak bahwa aku mencintainya, dan memanggilnya ‘dasar iseng’ sembari tertawa kecil. Saat aku menutup pintu di belakangku, aku mendengarnya tertawa.

Tingkah lakunya agak tidak biasa, tetapi itu jelas bukan sesuatu yang pantas untuk diributkan menjadi hal yang besar. Aku melupakannya saat makan siang dan saat aku tiba di rumah, dia sudah menjadi dirinya yang normal. Aku tidak membicarakannya dan begitu juga dia, dan hidup terus berjalan.

Kejadian berikutnya terjadi tiga hari kemudian. Saat itu sekitar pukul 2 pagi aku terbangun untuk mengambil minum. Aku berdiri di meja dapur, memegang gelas jus jeruk di tangan, ketika aku merasakan firasat kuat bahwa aku sedang diawasi. Entah mengapa aku menunduk ke lantai dan langsung melihat wajah istriku yang tersenyum menatap balik. Dia mengintipku dari sisi lain meja dapur, menatapku dengan mata lebar yang tidak berkedip dan menyeringai. Menyeringai seperti kucing Cheshire. Aku berteriak, aku akui itu. Bukan karena kesal, tetapi karena takut. Entah mengapa pada saat itu aku takut. Mendengar teriakanku, Lynn berlari mundur menjauh dari pandanganku, tangan dan kakinya menghantam lantai keramik saat dia bergegas keluar dari dapur dengan posisi merangkak. Aku tidak mengejarnya, atau bahkan tidak berteriak kesal. Aku hanya diam karena terkejut, bertanya-tanya apa yang telah merasukinya hingga melakukan itu. 

Butuh waktu untukku merenung cukup lama sampai aku akhirnya mau kembali ke atas. Ketika aku sampai di kamar tidur kami, Lynn sedang berbaring miring, tertidur. Atau setidaknya berpura-pura tertidur. Aku berdiri di sana beberapa saat, mendengarkan napasnya untuk memastikan dia benar-benar tertidur.

Kala itu, aku merasa dia akan melompat ke arahku begitu aku naik ke tempat tidur. Namun, dia tidak melakukannya. Aku naik ke tempat tidur dan dia bahkan tidak bergerak. Napasnya lembut dan dalam, dan aku mulai bertanya-tanya apakah aku hanya bermimpi.

Keesokan paginya, aku menunggunya turun untuk sarapan dan setelah memberinya secangkir kopi dan mencium pipinya, aku memutuskan untuk bertanya kepadanya tentang kejadian tadi malam. 

"Apa yang terjadi tadi malam?" tanyaku, menjaga nada bicaraku tetap ringan agar tidak menyinggung atau mempermalukannya.

Dia mengerutkan kening di atas cangkir kopinya, menggelengkan kepalanya seolah-olah dia tidak mengerti apa yang aku maksud.

"Kamu mengintipku lagi. Dari sana." kataku, sambil menunjuk ke titik di lantai dekat meja dapur. Dia mengikuti pandanganku, dan saat dia melihatku kembali, dia tertawa terbahak-bahak. Dia tertawa sangat keras sehingga aku tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut tertawa.

"Terkadang kau membuatku merinding, kau tahu itu?" kataku. Dia terkekeh dan meletakkan cangkirnya di meja dapur lalu melingkarkan lengannya di leherku.

"Kau juga selalu membuatku merinding. Jadi kurasa kita impas." Dia menggoda.

Kami berpamitan dan aku berangkat kerja. Saat mengemudi, aku terus memikirkan betapa menyeramkannya melihat Lynn menyeringai padaku dari balik meja seperti itu. Aku ingat suara tangannya yang menggeprak lantai saat dia merangkak pergi. Aku berkata pada diriku sendiri bahwa dia hanya mencoba bersikap konyol. Hanya mencoba bergabung denganku dalam kecintaanku pada semua hal yang berbau horor...

Bukannya aku takut padanya. Tapi itu semua terlalu tiba-tiba dan tidak natural.

Hari-hari berlalu dan aku mulai semakin sering melihatnya mengintipku dari balik sudut-sudut atau perabotan. Terkadang dia mengintip dari balik sofa atau tirai ruang tamu. Suatu kali dia bahkan berhasil masuk ke dalam koper tua neneknya yang terletak di kaki tempat tidur kami.

Aku mungkin tidak akan tahu dia ada di sana sama sekali jika engsel tua koper itu tidak berbunyi setiap kali Lynn bergerak didalam. 

Dia telah menyangga tutupnya cukup tinggi sehingga hanya setengah wajahnya yang bisa mengintip. Dia menyeringai seperti balita yang bersemangat. Itu mengerikan. Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa padanya. Yang bisa kulakukan hanyalah menatapnya. Ketika akhirnya aku menemukan suaraku, aku bertanya padanya mengapa dia melakukan ini. Dia tidak menjawab, tetapi dia perlahan menutup tutupnya, mengurung diri di dalam koper besar itu. Aku hanya berjalan pergi, merasa terganggu.

Aku tidak mengerti mengapa dia melakukannya, tetapi itu jelas membuatnya senang. Aku hanya berharap dia akan cepat bosan dengan permainan konyol ini. 

Lynn tidak mengintipku selama dua minggu berikutnya. Aku mulai berpikir dia sudah selesai dengan lelucon anehnya dan aku merasa lega. Kami sedang menonton acara di Netflix suatu malam dan aku bercanda mengatakan bahwa aku tidak melihatnya mengintipku akhir-akhir ini, dan bahwa dia mungkin sudah menyerah pada permainan ‘mata-mata’nya. 

Dia menatapku dengan senyum kecil dan berkata, "Mungkin aku menjadi semakin mahir bersembunyi.”

Aku tidak mengatakan apa pun tetapi aku bertanya-tanya apakah dia bercanda atau tidak.

Selama beberapa hari berikutnya aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang dikatakannya. Apakah dia masih mengintipku ketika aku tidak melihat dan aku tidak menyadarinya? Dan jika ya, apa yang dia dapatkan dari ini? aku mulai merasa paranoid, terus-menerus memeriksa apakah dia mengawasi dari sudut lorong, atau dari balik pintu. Aku selalu gelisah setiap kali berada di rumah dan dia tidak terlihat oleh pandanganku. Aku merasa bodoh dan sedikit gila.

Namun setelah beberapa minggu tanpa kejadian lain, aku mulai rileks. Aku berhenti memeriksa di balik perabotan dan dinding dan berkata pada diri sendiri bahwa aku mungkin hanya bersikap paranod. 

Itu sebelum kemudian, keadaan menjadi jauh lebih buruk....

Beberapa hari yang lalu, Lynn pamit pergi ke rumah teman, dan aku tengah bersantai di sofa sembari memainkan beberapa game di laptopku.

Sekitar pukul 9 malam, aku sedang berendam di bak dan ketika aku sedang mencuci busa dari rambutku, aku merasakan perasaan yang mengerikan bahwa aku sedang diawasi. Aku perlahan membuka mata dan hampir mengalami serangan jantung.

Kulihat Lynn mengintip dari balik tirai kamar mandi, seluruh kepalanya menjulur ke dalam area bak tempat aku mandi, hanya menyisakan tubuhnya di luar. Rambutnya yang panjang dan gelap menjuntai di tirai, ujungnya meneteskan air. Mulutnya menganga dalam seringai mengerikan, matanya lebar dan merah, seolah-olah dia sudah lama tidak berkedip. Aku berteriak dan melompat mundur dan punggungku menabrak ujung bak. Dia tidak bergerak bahkan untuk sekedar menurunkan senyumannya. Dia seperti membeku. Riasannya luntur di pipinya dalam dua garis hitam. Dia tampak kacau dan benar-benar terlihat seperti orang gila. Aku benar-benar ketakutan.

Kami berdiri seperti itu selama beberapa saat, tak satu pun dari kami mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya setelah apa yang terasa seperti selamanya, dia perlahan menarik kepalanya keluar dari tirai shower, dan aku memperhatikan sosoknya yang kabur melalui tirai saat dia bergerak mundur menuju pintu kamar mandi.

Sedetik kemudian pintu kamar mandi terbanting menutup, cukup keras untuk menggetarkan cermin. Aku berteriak lagi, dan melompat keluar dari bak mandi untuk mengunci pintu. Aku diam di dalam bak mandi selama lebih dari satu jam. Mungkin reaksiku terkesan berlebihan terhadap lelucon yang dibuat Lynn, istriku sendiri. Tetapi bercanda atau tidak, aku tidak bisa lagi mentolerir hal ini. Ini harus berhenti! Itulah yang terus kukatakan pada diriku sendiri saat aku mondar-mandir di dalam kamar mandi. Aku hanya berhenti untuk mendengarkan setiap suara disekitar. 

Ketika aku mencoba menajamkan indera pendengaranku, tiba-tiba aku mendengar suara teredam, dan aku menempelkan telingaku ke pintu kamar mandi, berusaha keras untuk mendengarkan suara apapun dari luar. Aku tidak bisa mendengar apa pun tetapi aku membayangkan Lynn berdiri di sisi lain pintu, terkikik membayangkan aku yang ketakutan.

Aku merasakan luapan amarah. Aku sangat kesal karena dibuat ketakutan di rumahku sendiri, dan dipaksa bersembunyi di kamar mandi selama satu jam. Semua itu untuk apa? Lelucon? Jika itu lelucon, ini tidak lagi lucu. 

"Apa-apaan Lynn!" bentakku. "Kau benar-benar menyebalkan." 

Aku menunggu dia meminta maaf, atau merengek sembari menyalahkanku sebagai orang yang tidak asik, sesuatu yang manusiawi. Namun, yang kudengar malah erangan samar, begitu pelan sampai-sampai aku bertanya-tanya apakah itu hanya imajinasiku saja. Kemudian, keheningan total.

"Lynn?" panggilku. Aku bahkan tidak bisa menyembunyikan gemetar dalam suaraku. Aku tidak mendapat respons. Yang kudengar hanya napasku yang berat.

"Ayolah Lynn, hentikan ini!" teriakku, sambil memukul pintu dengan tinjuku.

Aku menunggu dia memakiku, sesuatu yang aku harapkan sebagai lampu hijau bahwa ini hanyalah lelucon yang kelewatan. Tidak pernah dalam hidupku aku membentak Lynn. 

Tapi tidak ada jawaban. Hanya tetesan air keran saja yang kudengar.

Aku tidak akan menyangkal bahwa aku takut. Terlalu takut untuk membuka pintu sialan itu dan menghadapi istriku sendiri. Aku menunggu sekitar 30 menit lagi, yang terasa sangat lama ketika kau takut. 

Akhirnya, aku menolak untuk menghabiskan malam bersembunyi di kamar mandi, pada suatu titik, aku harus keluar. Betapa bodohnya, alih-alih langsung keluar, aku malah berlutut mengintip ke bawah pintu. 

Aku hampir berharap melihat wajah Lynn mengintip ke arahku, tetapi untungnya tidak. Aku bisa melihat lurus ke bawah lorong ke atas tangga, tetapi tidak ada Lynn. Aku tidak tahu apakah aku harus senang tentang itu atau tidak. Aku melihat selama beberapa menit, menunggu untuk melihat kepalanya muncul di atas anak tangga teratas, mengingat ini adalah kamar mandi di lantai dua, tetapi itu tidak pernah muncul. 

Aku berdiri, tanganku melayang di atas kmop pintu dan secara mental mempersiapkan diri untuk membukanya. Aku perlahan memutar kunci dengan jari-jari gemetar, dan hendak membukanya ketika aku mendengar suara yang masih membuatku merasa mual ketika aku memikirkannya.

Sebuah erangan, lebih keras dari sebelumnya, tetapi kali ini aku bisa tahu dari mana asalnya. Aku menoleh ke lemari kemar mandi yang aku abaikan dari awal aku masuk ke kamar mandi ini. 

Disana, aku melihat dalam gerakan lambat, ke arah istriku yang mengintip dari celah pintu lemari yang terbuka. Matanya masih terbuka lebar seperti biasa dan mulutnya menganga dalam senyum paling aneh yang pernah kulihat. Aku bahkan tidak berteriak. Aku terlalu takut untuk itu. Ketika pintu lemari terbuka semakin lebar dan lebar, kulihat tangannya terkepal di dadanya, tubuhnya gemetar karena kegirangan, seolah-olah dia hampir tidak bisa menahan kegembiraannya. Erangan serak pendek keluar dari tenggorokannya, dalam dan kasar, mengirimkan getaran ke seluruh tubuhku. Entah bagaimana aku menemukan kemampuan untuk membuka pintu kamar mandi dan berlari secepat yang aku bisa menuruni tangga, mengambil kunci dan telepon dari meja di ruang tamu sebelum berlari keluar ke mobilku. Aku bisa mendengar tawanya yang melengking di belakangku tetapi aku tidak mendengarnya mendekat. Aku bahkan tidak mau repot-repot menutup pintu depan. Detik berikutnya, aku sudah melaju meninggalkan rumah lebih cepat dari yang seharusnya. Kedua tanganku memegang kemudi dengan gemetar yang tak kunjung reda. Aku tidak bisa lagi membedakan apakah itu karena takut atau kedinginan. Mungkin sedikit dari keduanya. Aku tidak sempat mengambil jaket atau bahkan sepasang sepatu. Aku masih mengenakan celana dalam dan rambutku masih basah. Aku langsung menuju rumah saudara laki-lakiku, Chris, yang berjarak sekitar 40 menit, mengabaikan semua panggilan dan pesan teks yang aku terima. Aku tidak mengecek ponselku sampai aku memarkirkan mobilku dengan aman, di jalan masuk rumah saudara laki-lakiku. 

Lynn telah menelepon sebanyak 4 kali dan mengirim banyak pesan teks, semuanya berisi pertanyaan tentang kemana aku pergi dan mengapa aku tiba-tiba pergi "seperti itu." Aku melempar ponselku ke dasbor dengan marah, geram dengan sikapnya yang acuh tak acuh. 

Saudara laki-lakiku dan istrinya terkejut melihat kedatanganku, terutama karena aku hanya mengenakan celana dalam, tetapi melihat raut wajahku yang kalut, mereka memendam segala pertanyaan setidaknya sampai aku nyaman di dalam rumah. Mereka bahkan dengan terbuka menyuruhku untuk tinggal selama yang aku perlukan. 

Chris meminjamkanku beberapa pakaian dan bertanya apa yang terjadi setelah aku sudah duduk di sofa. Istrinya membawakanku secangkir teh hangat. Aku mengatakan kepadanya bahwa Lynn dan aku bertengkar, tetapi tidak menjelaskan detailnya. Aku tidak ingin dia berpikir bahwa aku bereaksi berlebihan, meninggalkan istriku hanya karena lelucon, meskipun itu aneh. Maksudku, aku selalu mendorong Lynn untuk jangan bersikap terlalu dan biasakanlah untuk berhumor. Jelas ini adalah salah satu jenis candaan, tapi bukan ini yang aku inginkan.

Setelah beberapa jam berbincang, Chris dan istrinya mempersilahkanku beristirahat. Aku mencoba tidur di sofa mereka, tetapi otakku tidak mengizinkan aku tidur. Setiap kali aku menutup mata, aku akan melihat wajah Lynn menatapku dari dalam lemari. Mengetahui dia ada di sana bersamaku ketika aku bersembunyi, membuat kulitku merinding. Dia tidak pernah meninggalkan kamar mandi sialan itu sama sekali. Sebaliknya, dia menyelinap ke dalam lemari dan membanting pintu kamar mandi hingga tertutup untuk menipuku.

Hanya memikirkan untuk pulang saja membuatku cemas. Aku berguling-guling, tidak bisa tidur. Chris akhirnya memberiku pil tidur sehingga aku bisa beristirahat sebentar. Tidurku dipenuhi dengan mimpi buruk. Semuanya adalah wajah Lynn yang tersenyum.

Aku terbangun tepat saat matahari mulai terbit. Tubuhku berasa pegal mungkin karena tidur ditu ofa, dan aku masih merasa lelah. Aku paham aku harus menelepon Lynn segera. Mencoba berdamai dengan apapun ini. Dia tetaplah istriku. Tetapi aku tidak tahu harus berkata apa kepadanya. Aku tidak akan pulang kecuali dia berjanji tidak akan melakukan hal-hal menyeramkan lagi. Aku hanya ingin istriku kembali seperti sedia kala. Sikap kaku dan gelagat seriusnya, benar-benar tidak pernah aku rindukan seperti hari ini. 

Aku sedang berpikir untuk meneleponnya dan mengatakan itu padanya, ketika perasaan yang familiar itu, tiba-tiba datang kembali. Aku merasa sedang diawasi. Aku menatap langit-langit mencoba untuk tidak menoleh ke arah yang ingin sekali aku toleh, jantungku berdebar kencang. Aku tidak ingin berpaling, tetapi semakin lama aku mengabaikan perasaan itu, semakin buruk jadinya.

Pada akhirnya, mataku menjauh dari langit-langit dan aku pun menoleh ke sudut yang menjadi sumber ketidak nyamananku. 

Wajahnya menempel di jendela di samping sofa, menatapku dengan senyum lebar yang sama. Air liur menetes dari bibirnya, meninggalkan dua garis panjang di kaca. Aku tidak tahu sudah berapa lama dia di sana, tetapi sesuatu memberitahuku bahwa dia sudah di sana cukup lama, mungkin sepanjang malam.

Aku tidak repot-repot berteriak, meskipun aku takut, kemarahan mengalahkan rasa takut yang kurasakan saat itu. Aku melompat dari sofa dan memukulkan telapak tanganku ke kaca.

"Lynn! Kamu gila? Apa yang salah denganmu? Pulang saja!" teriakku. "Sekarang!"

Dia tidak bergerak, dan ekspresinya yang mengerikan tidak pernah berubah. Senyumnya malah semakin lebar, seolah-olah dia tidak pernah segembira ini.

Aku bisa mendengar Chris dan istrinya bergerak di lantai atas. Seolah-olah Lynn bisa mendengar mereka dari tempatnya di luar, kepalanya sedikit bergerak mendongak, dan dia mulai menutup mulutnya perlahan.

Chris memanggil namaku dari lantai atas, jelas khawatir. Aku menoleh untuk melihatnya dan istrinya Rebecca bergegas menuruni tangga. Buru-buru. Ketika aku kembali menoleh ke jendela, Lynn sudah pergi. Satu-satunya tanda bahwa dia pernah ada di sana adalah dua garis air liur yang masih menetes di kaca.

Aku mencoba menjelaskan kepada Chris dan Rebecca tentang apa yang terjadi saat aku terbangun dan melihat Lynn mengawasiku melalui jendela mereka. 

Mereka skeptis, siapa yang tidak? Chris dan aku kemudian pergi ke luar ke tempat di depan jendela tetapi tidak ada jejak kaki di tanah, hanya sedikit lekukan. Mungkin binatang, tebak Chris, dan aku tidak membantah. Dia dan Rebecca berasumsi aku memimpikan seluruh kejadian itu tetapi mereka tidak mengerti, dan aku terlalu lelah untuk menjelaskannya kepada mereka.

Aku menelepon kantor hari itu untuk izin dan mematikan ponselku. Aku tidak ingin menghadapi Lynn. Hanya berbicara dengannya saja sudah terlalu berat bagiku saat itu. Aku benar-benar mulai percaya ada sesuatu yang salah dengannya. Bahwa tidak peduli apa pun janji yang dia buat, kami tidak akan pernah sama lagi. Pikiran itu membuatku sangat sedih. Aku menangis hampir sepanjang pagi. 

Menjelang siang, aku rasa aku sudah siap untuk menghadapinya. Memberinya satu kesempatan terakhir untuk menjelaskan dirinya. Setidaknya, itulah yang bisa aku berikan setelah 6 tahun mengenalnya. 

Aku kemudian menyalakan ponsel dan melihat lusinan pesan singkat yang berasal darinya, semuanya terlihat seperti berasal dari seorang istri yang tampak khawatir. 

"Bisakah kita bicara?" 

"Aku mencintaimu." 

"Tolong telepon aku." 

"Aku benar-benar khawatir." 

"Bisakah kamu menjawab?"

“Pulang saja." 

Dan masih banyak lagi pesan serupa. Semua pesan mengatakan dia mencintaiku, dan dia ingin aku pulang. Betapa khawatirnya dia... Tidak ada satu pun yang membahas hal-hal gila yang dilakukannya. Seolah-olah dia tidak bertingkah seperti karakter dari buku Stephen King. 

Bahkan pesannya pun terasa berbeda. Dia biasanya akan mengirimkan teks begitu panjang hanya untuk menyuruhku membeli sepotong roti! Aku tentu berharap dia harusnya memiliki lebih banyak hal yang harus dikatakan setelah lelucon aneh yang kelewatan ini. 

Aku tahu mungkin ini tampak kekanak-kanakan bagi sebagian dari kalian yang berada jauh dari situasi ini. Namun, jika kalian melihat cara Lynn menatapku, bagaimana dia berlari dengan keempat kakinya seperti binatang buas, menyeringai ke arahku dari dalam lemari seperti orang gila…..maka ku pikir kalian akan merasa reaksiku itu wajar.

Aku akhirnya menginap dengan Chris dan Rebecca untuk satu malam lagi. Aku baru bangun setelah tengah hari, dan untungnya aku tidak lagi melihat wajah Lynn yang sedang mengawasiku melalui jendela.

"Aku tidak ingin ikut campur, karena ini bukan urusanku. Namun, apakah pertengkaran kalian bisa diperbaiki?" tanya Rebecca. Dia membuatkan kami berdua roti lapis untuk makan siang dan aku tahu dia ingin memulai pembicaraan tanpa terlihat ingin tahu.

"Aku tidak tahu. Aku hanya….. dia seperti orang yang berbeda." kataku, memilih kata-kata dengan hati-hati. Aku masih belum siap untuk dia atau Chris tahu seberapa parah kegilaan yang selama ini kualami.

"Orang-orang berubah, Ben. Tapi dia masih wanita yang sama yang kau nikahi. Mungkin kalian berdua hanya perlu membicarakan masalah kalian. Apa pun yang terjadi, aku yakin itu bisa diperbaiki." Katanya, selalu menjadi penengah.

"Kurasa sekarang sudah lebih dari itu. Bicara tidak akan membantu. Aku tidak bisa percaya lagi padanya." Kataku.

Datang dari diriku sendiri, kata-kata itu menusuk hatiku. Aku merindukan dan mencintai istriku. Tapi bagaimana aku bisa hidup dengan seseorang seperti itu? Hidup dalam ketakutan terus-menerus? 

"Lynn mencintaimu. Dia pasti sangat hancur." Katanya.

"Entahlah." Kataku.

"Yah, dia tampak seperti itu bagiku. Aku belum pernah melihatnya begitu marah. Sangat tidak seperti Lynn yang kukenal." Kata Rebecca, menggelengkan kepalanya dengan sedih. Butuh waktu semenit penuh agar kata-katanya benar-benar meresap dan saat itu terjadi, aku merasakan ketakutan menjalar ke seluruh kulitku.

"Tunggu. Apa maksudmu? Kau melihatnya? Kau melihat Lynn?" tanyaku, mulutku tiba-tiba kering.

Rebecca mengangguk santai seolah-olah fakta itu bukan bahan bakar mimpi buruk. Mungkin baginya tidak.

"Dia mampir pagi ini tepat setelah Chris berangkat kerja." Katanya, sembari membersihkan piring-piring dari meja. "Tapi aku tidak melihat mobilnya. Mungkin dia naik uber atau semacamnya."

"Becc. Apa katanya? Apakah..apa dia masuk ke dalam?" tanyaku, keringat mulai membasahi dahiku. Aku mulai melihat sekeliling, mengamati sudut-sudut seolah-olah ada predator yang mengintai di sekitar.

"Tidak. Dia hanya bertanya apakah kau sudah bangun dan aku bilang belum. Aku bertanya apakah dia ingin aku membangunkanmu tetapi dia bilang tidak. Hanya bilang untuk membiarkanmu tidur." Katanya sambil mencuci piring. 

"Hanya itu? Dia tidak mengatakan apa-apa lagi?" tanyaku.

"Tidak. Tapi dia tampak mengerikan. Sepertinya dia tidak tidur selama berhari-hari. Kurasa kau harus meneleponnya.

Aku bangkit dari meja dan mengucapkan terima kasih kepada Rebecca atas makan siangnya.

Aku merasa sedikit lebih baik karena tahu setidaknya dia tidak masuk ke dalam. Tetap saja, aku perlu memeriksa ulang apakah pintu depan terkunci.

Aku duduk sebentar sambil mencoba mencari tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Aku tidak ingin pulang, tetapi aku merasa berutang budi kepada Lynn untuk setidaknya membantunya jika aku bisa. Bukankah aku sudah bersumpah untuk mencintai dan menghormatinya saat sakit dan sehat? Jelas dia sekarang sangat sakit.

Jika dia sakit, yang benar-benar kupercayai, aku harus berusaha dan memberinya bantuan yang dia butuhkan. Tetapi aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana. Aku tidak ingin menelepon Polisi, dan lagi pula, apa yang akan kukatakan pada mereka? Bahwa istriku mengintipku? Bahwa dia bersikap menyeramkan? Seaneh apa pun dia, dia tetap tidak melakukan kejahatan apa pun. Setidaknya belum. Polisi mungkin akan mengatakan bahwa aku bereaksi berlebihan. Namun, ini bukan lelucon. Rasanya salah. Bahkan berbahaya. Seperti ada sesuatu yang menyeramkan mengintai di balik senyumnya.

Aku tahu sebagai suaminya, aku berhak untuk melaporkan ke polisi, tetapi bagaimana jika dia bersikap normal di hadapan mereka? Dia jelas bisa mengelabui Rebecca agar mengira dia hanya seorang istri yang khawatir. Selama dokter jiwa tidak menganggapnya membahayakan dirinya sendiri atau orang lain, mereka tidak punya pilihan selain melepaskannya setelah 72 jam. Aku merasa tersesat dan kewalahan. 

Jadi, aku melakukan apa yang akan dilakukan suami mana pun dalam posisiku.

Aku menelepon ibunya.

Aku sebenarnya tidak mau, tapi aku sudah kehabisan opsi

Ibunya, Marianne, dan aku tidak pernah berhubungan baik. Bukan karena kami pernah bertengkar atau semacamnya. 

Dia bukan orang yang hangat, dan tidak mudah bergaul. Dia hampir tidak pernah tersenyum dan saat dia tersenyum, hanya bibirnya yang bergerak membentuk senyum tipis, namun membuat matanya terlihat kosong. Dia memancarkan aura yang membuatnya selalu terlihat seperti pendendam, bahkan kepada orang-orang baru.

Aku hanya bertemu dengannya dua kali dan kedua kali itu hanya untuk kunjungan singkat. Aku mendapat kesan dia tidak setuju dengan keputusanku meminang putrinya. Lynn selalu mengajakku segera pulang ketika kami berkunjung, karena dia tidak ingin aku merasa tidak nyaman, dan ku bersyukur untuk itu. Berada di dekat ibunya terasa hampir tak tertahankan. Seperti berjalan di atas kaca. Aku terlewat senang ketika kami pindah tiga kota jauhnya sehingga kami tidak perlu sering bertemu dengannya. Aku dengan senang hati akan selalu menghindari wanita itu, tetapi aku membutuhkan bantuannya sekarang.

Aku benar-benar tidak ingin berbicara dengannya sama sekali, tetapi aku harus berbicara dengan seseorang dan itu haruslah seseorang yang mengenal Lynn lebih baik daripada aku. Jadi aku menggertakkan gigiku dan melakukan apa yang harus kulakukan.

"Ya?" jawabnya, yang sudah terdengar kesal. Aku memutuskan untuk menelfonnya. 

"Marianne, ini aku Ben. Apa kau punya waktu sebentar untuk bicara?" tanyaku. Aku bisa mendengarnya mendecakkan lidahnya karena kesal.

"Aku sedang sibuk, tetapi jika kau memaksa, sampaikan urusanmu dengan cepat, apa maumu Benjamin?” tanyanya dengan dingin. 

"Ini tentang Lynn. Dia... bertingkah aneh dan aku bertanya-tanya apakah kau tahu ada sesuatu–" 

Aku segera disela.

"Langsung ke intinya saja, apa yang kauinginkan dariku?" tanyanya. 

Aku hampir bisa membayangkan dia kini tengah berdiri diseberang dengan sweter tipis dan celana panjang. Dia pasti tengah mengetuk-ngetukkan kukunya dengan tidak sabar di atas meja.

"Aku ingin tahu apakah kau pernah memperhatikan perilaku aneh dari Lynn? Atau mungkin dia pernah punya riwayat penyakit mental?" Aku bertanya. 

Ada jeda yang panjang dan tidak nyaman yang tidak dapat aku katakan apakah dia hanya berpikir, atau .... sesuatu yang lain. Akhirnya setelah beberapa detik dia berbicara.

“Entah kau bergurau atap apa. Apabila demikian, itu tidak lucu dan kau membuang-buang waktu. Sekarang, aku benar-benar sedang sibuk itulah kenapa kau sebaiknya segera pergi da–”

Kini giliran aku memotongnya sebelum dia bisa menutup panggilan. 

"Marianne, ini bukan lelucon. Aku sungguh-sungguh khawatir tentang kesehatan mental Lynn. Perilakunya sangat tidak menentu akhir-akhir ini. Aku sangat khawatir tentangnya dan aku pikir sebagai ibunya kau pasti tau sesuatu." Aku berkata, frustrasi ku jelas terdengar dalam suaraku.

"Jika kau benar-benar khawatir, aku sarankan kau membawanya ke orang yang bisa mengobati. Aku tidak paham kenapa kau mengadu kepadaku." Dia membentak.

Aku dapat menebak bahwa hanya beberapa detik lagi dia akan menutup telepon dan untuk beberapa alasan, aku sangat tidak ingin itu terjadi. Aku merasa dia tahu lebih banyak daripada yang dia ungkapkan.

"Tolong. Kalau bukan untukku, lakukanlah demi Lynn." Aku mencoba.

Kudengar napasnya yang tersengal-sengal, seolah dia berusaha mempertahankan kepribadiannya yang keras tetapi gagal.

"Marianne? Tolong lah a-" Aku mulai bicara.

"Benjamin, aku tidak tahu harus berkata apa. Satu-satunya saranku adalah mencari bantuan profesional. Jangan menelepon ke sini lagi. Selamat tinggal." 

Dia telah menutup panggilan. 

Aku mencoba memahami panggilan itu dan penolakannya untuk membantuku. Bahkan jika dia tidak menyukaiku, mengapa dia tidak mau membantu putrinya sendiri? Aku tidak bisa memahaminya. Aku mencoba memutar ulang percakapan itu, putus asa untuk menemukan sesuatu yang terlewat.

Setelah beberapa saat aku hampir menyerah, sampai aku mengingat kata-kata terakhirnya kepadaku. "Cari bantuan profesional," katanya dengan sedikit tergesa-gesa. Aku mungkin hanya mengada-ada, tetapi tidak, aku yakin suaranya sedikit berubah saat mengatakan itu. Seolah-olah itu sangat penting.

Apa maksudnya? Aku berasumsi dia merujuk pada profesional medis, tetapi mungkin dia merujuk pada orang lain. Seseorang yang entah mengapa tidak nyaman untuk dia katakan secara langsung. Atau mungkin aku hanya putus asa.

Aku menunggu Chris pulang dan setelah percakapan yang sangat panjang dan melelahkan dengannya dan Rebecca, aku meyakinkan mereka bahwa Lynn benar-benar membutuhkan bantuan psikiater. Aku tidak menceritakan semuanya kepada mereka. Aku belum siap untuk membahasnya, tetapi aku memberi tahu mereka tentang pertemuan terakhir kami. Bagaimana dia bersembunyi di kamar mandi, mengintipku dari lemari. Mereka jelas terkejut tetapi untungnya mereka percaya kepadaku. Mereka juga hanya ingin membantunya. Tetap saja, mereka tidak menganggapnya terlalu serius. Aneh, mungkin tetapi tidak berbahaya. Mereka terus mengatakan bahwa Lynn pasti sedang membuat lelucon aneh. 

"Mungkin untuk YouTube?" Rebecca menawarkan teori, meskipun setengah hati. 

Chris tidak berpikir kami harus melibatkan polisi sekarang. Dia malah menawarkan untuk pergi bersamaku, dan aku langsung menerimanya. Dia beralasan bahwa berbicara dengan tenang kepadanya, mencoba membujuknya untuk pergi dengan sukarela adalah jalan keluar terbaik. Aku setuju untuk melakukan dengan caranya. Setidaknya aku tidak akan masuk ke rumah itu sendirian. 

Kami berkendara ke sana pagi ini, tepat setelah sarapan. Tidak mungkin aku pergi pada malam hari. Ketika kami masuk ke jalan masuk, perutku mulai mual. Mobilnya tidak terlihat di garasi, tetapi aku tetap waspada. 

Pintu depan terbuka sedikit, dan untuk sesaat kupikir kami akan melihat matanya menatap melalui celah itu. Aku gemetar dan mulai berkeringat. Namun, Chris baik-baik saja. Dia menungguku membuka pintu, tangannya di saku seperti sedang berjalan-jalan di taman. Aku iri dengan ketidaktahuannya.

Aku mendorong pintu hingga terbuka dan langsung tercium bau busuk. Chris juga menciumnya, dan dia masuk ke rumah di belakangku dengan hidungnya yang mengerut.

"Astaga, cairan pembersih merk apa yang kalian gunakan untuk membersihkan lantai?" Chris bergumam.

"Diam." Kataku, mataku bergerak cepat mencari tanda-tanda Lynn.

Rumah itu sunyi dan gelap meskipun saat itu pukul 10 pagi. Semua gorden tertutup rapat, menolak sinar matahari masuk. Jika aku tidak meninggalkannya dua hari sebelumnya, aku akan mengira rumah itu kosong.

Kami berjalan melewati setiap ruangan, dengan hati-hati memeriksa tempat-tempat mana pun yang mungkin bisa menjadi tempat sembunyi, sesekali aku memanggil nama istriku itu.

"Kenapa kau mencari-cari di bawah sofa?" Chris akhirnya bertanya. "Bukankah kita sedang mencari istrimu?" Dia menatapku seolah aku orang bodoh.

"Ayo kita cek lantai atas," bisikku. Dia menggelengkan kepala, tetapi tetap mengikutiku menaiki tangga untuk memeriksa kamar mandi dan kamar tidur tamu. Dalam perjalanan, sepatuku berderak di atas pecahan kaca yang tampak berserakan di beberapa anak tangga.

Aku melihat bahwa salah satu potret pernikahan Lynn dan aku yang tergantung di dinding di sepanjang tangga telah pecah. Bingkainya tergantung miring, semua kacanya terlepas. Aku menatap foto itu, tenggorokanku tercekat. Kami mengambil foto itu tepat setelah meninggalkan gereja, setelah mengucapkan janji pernikahan. Dia tampak begitu cantik dalam gaun putihnya. Aku menatap wajah cantik Lynn. Aku tidak pernah menyangka wajahnya akan menjadi sumber teror bagiku. Kami menaiki sisa anak tangga dan memeriksa kamar tidur cadangan, tetapi kamar itu tampak sama sekali tidak tersentuh.

Aku ragu untuk masuk ke kamar mandi, ketakutanku dari malam itu kembali menghantuiku sekaligus. Chris memperhatikan, dan menawarkan untuk aku masuk sendiri tetapi aku tidak mau melakukannya. Jadi kami masuk bersama, memeriksa lemari dan pancuran. Kamar mandi tampak seolah-olah tidak tersentuh sejak malam aku pergi.

"Aku rasa dia tidak ada di sini, Ben. Mengapa kau tidak mengemas beberapa pakaian dan kita akan mencoba kembali besok atau semacamnya." Kata Chris. 

Aku mengangguk dan masuk ke kamar tidur kami dan memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas ransel. Ketika aku memeriksa bagian dalam lemari kami, aku menemukan sumber bau tidak sedap itu dan tersedak.

Chris melihat sekilas dan langsung kehilangan semua warna di wajahnya. Dia harus keluar dari kamar dan berdiri di lorong untuk menjauh dari pemandangan dan bau itu.

Aku menatap dengan kaget pada apa yang ada di dalam lemari kamar tidurku. Tertata rapi diatas kain, ada sedikitnya selusin bola mata, semuanya ditata dengan hati-hati berpasangan. Beberapa sebesar seperempat sementara yang lain sekecil kelereng. Aku menatap mata yang dikumpulkannya. Ukuran yang bervariasi, sebagian besar jelas dari hewan. Karena minimnya pengetahuan, aku tidak bisa menyimpulkan apakah ada diantaranya merupakan milik manusia.

"Wah, kukira aku mengalami nasib buruk dengan kecanduan sepatu milik Becca. Tapi sial. Istrimu ada di sini mengumpulkan bola mata." Kata Chris, tersedak. 

"Ben, kurasa kita harus pergi." Dia terlihat gusar. "Aku mulai mual." 

"Baiklah." Aku meraih tas ranselku dan menutup pintu lemari pada mimpi burukku yang baru. 

Aku melangkah mundur dan berbalik badan, menemui ben yang sudah berada di ambang pintu. Aku bisa merasakan kebusukan di lidahku dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersedak. 

"Membayangkan seseorang mencongkel bola mata saja sudah benar-benar aneh, apalagi menatanya rapi di dalam lemari.” Chris bergumam. 

"Aku mencoba memberitahumu bahwa dia butuh bantuan." Kataku.

"Dia tidak butuh bantuan psikiater, Ben. Dia butuh pendeta atau siapapun yang bisa mengusir setan." Katanya. 

Aku tidak menanggapi. 

"Ayo segera pergi. Aku tidak tahan baunya sama sekali-" kata-katanya terhenti di tenggorokannya, dan matanya membelalak karena takut.

Aku tidak bertanya padanya kenapa. Aku bisa merasakannya. Seseorang sedang mengawasiku dan kupikir itu bukan mata di dalam lemari. Aku berbalik, mataku perlahan mengamati kamar tidur.

"Ya Tuhan," bisikku, saat akhirnya aku melihat apa yang telah kami lewatkan. Di bawah tempat tidur, meringkuk, mengawasi kami dengan kegembiraan seperti seorang anak pada pagi Natal, adalah istriku.

Dia menyatukan kedua tangannya tepat di bawah dagunya, dan tangannya gemetar dengan penuh semangat.

Sekarang setelah dia tahu dia telah ditemukan, aku bisa mendengar suara-suara pelan yang dibuatnya. Semacam suara cegukan di tenggorokannya, seolah-olah kegembiraan itu terlalu besar baginya. Itu sangat mengerikan. Mata terbelalak, dan senyum lebar yang sama.

Semua dalam diriku menyuruhku untuk lari, tetapi aku memaksa untuk tetap tinggal. Ini adalah istriku. Tidak peduli seberapa bengkoknya, dia tetaplah wanita yang kunikahi. Aku harus membantunya.

"Lynn…" kataku lembut. Dia tidak menjawab, tetapi kepalanya bergerak maju mundur dalam dua gerakan kecil yang cepat seolah-olah dia mengangguk.

"Sayang. Aku hanya ingin membantu, oke? Bisakah kau…. Bisakah kau membiarkanku melakukan itu?" tanyaku. Aku telah mengambil satu langkah maju, mendekatinya seakan dia adalah sejenis binatang yang berbahaya. 

"Aku mencintaimu, Lynn." kataku lembut, sambil melangkah lebih dekat. Dia mengeluarkan erangan kecil dari mulutnya yang terbuka lebar dan aku harus menahan keinginan untuk lari. Bahunya mulai bergetar, dan matanya membesar seperti piring. Aku berjongkok agar bisa melihatnya lebih jelas, dan segera melihat darah. Tangannya berlumuran darah. Tangannya semakin gemetar saat aku mendekat, seolah-olah dia hampir tidak bisa menahan diri.

"Lynn. Apa kau terluka? Kau berdarah." kataku. Dia menganggukkan kepalanya lagi, jari-jarinya yang berdarah bergerak ke atas dan ke bawah seolah-olah sedang memainkan piano yang tak terlihat. Sesekali jari-jarinya menyentuh dagunya, meninggalkan bercak darah di kulitnya.

Aku ingin mundur karena jijik. Bau yang keluar darinya sangat menjijikkan. Aku bisa merasakan muntahan mencoba naik ke tenggorokanku. Bibirnya kering dan tipis, darah merembes di antara celah-celahnya. Aku tahu dia tidak akan keluar sendiri, tetapi aku tidak ingin meninggalkannya dalam kondisi seperti itu.

Aku bergeser lebih dekat dan mengulurkan tangan padanya. Suara cegukan yang bersemangat semakin keras dan tangannya gemetar, jari-jarinya menegang. Saat itulah aku bisa melihat darah mengalir dari sela-sela jarinya.

"Ya Tuhan, Lynn. Kau berdarah." kataku. Secara naluriah aku mengulurkan tangan untuk memegang tangannya, tetapi sebelum aku bisa menyentuhnya, tangannya terjulur ke arahku. 

Rasa sakit yang tajam langsung menusuk lenganku, dan aku jatuh terlentang. Lenganku terasa terbakar, dan aku bisa melihat darah menetes ke karpet.

Aku menoleh ke arahnya dengan kaget dan melihatnya menyeringai gila, jari-jarinya rupanya mencengkeram pecahan kaca besar.

"Hei apa yang terjadi?" tanya Chris dari belakangku. 

“Aku tidak apa apa.”

“Kau yakin?“

Aku menoleh sedikit, dan mengangguk padanya, mendekap lenganku yang terluka di dadaku. Ketika aku kembali menghadap Lynn, aku melihat bahwa fokusnya telah bergeser. Dia tidak lagi menatapku. Dan dia juga tidak tersenyum lagi.

Dia menatap ke arah lain, matanya melotot ke arah Chris seperti singa lapar yang menatap kijang. Mulutnya masih menganga tetapi berubah menjadi geraman.

“Kita harus pergi dari sini.”

Chris membantuku berdiri dan kami menjauh dari Lynn. 

"Ini benar-benar gila. " tanya Chris. Saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, Lynn mulai merangkak cepat keluar dari bawah tempat tidur, pecahan kaca masih di tangannya.

"Chris. Lari. Pergi!" teriakku. Dia telalu lambat merespon, karena alih-alih segera lari menuju pintu depan, dia masih mendongak untuk mengamati Lynn. Mencoba memahami sepenuhnya apakah sosok itu benar-benar kakak iparnya. 

Lynn telah merangkak keluar sepenuhnya dari bawah tempat tidur dan berdiri di ambang pintu kamar tidur ketika kami berada di puncak tangga, hendak turun. Wajahnya berubah marah. Seluruh tubuhnya tampak tegang. Darah mengalir dari jari-jarinya dan ke lantai.

"Ya Tuhan, Lynn..." kata Chris, dia sepenuhnya dapat melihat Lynn dari atas sampai bawah. 

"Ayo cepat pergi, Chris," kataku pelan tapi tegas semampuku.

Lynn menganggukkan kepalanya dengan gerakan cepat dan tajam, dan mulai menyeringai, membuka mulutnya lebih lebar dan lebih lebar sehingga dagunya tampak menyentuh dadanya. Aku mendengar Chris menggumamkan doa dan kemudian dia berlari menuruni tangga. Aku berdiri di puncak tangga, terjebak di antara cinta untuk seorang wanita yang jelas-jelas membutuhkan bantuan serius, dan mempertahankan diri.

"Aku hanya ingin membantu." kataku, menahan air mata. Matanya kembali menatapku saat dia perlahan mengangkat kaca, mengulurkannya di depannya. Dan kemudian dia mulai berlari ke arahku, menyeringai dengan penuh kegembiraan.

Untungnya tubuhku mengambil alih dan aku melesat menuruni tangga dengan melompati dua atau tiga anak tangga sekaligus. Aku berhasil sampai ke pintu depan sebelum aku merasakannya melompat ke punggungku, melingkarkan lengannya di leherku, mulutnya yang terbuka di dekat telingaku sehingga aku bisa mendengar suara cegukan yang mengerikan itu dari dekat. Aku menyingkirkannya, menjatuhkannya ke lantai. 

Aku merasakan sakit yang membakar di punggungku saat terlepas, tetapi aku langsung bergegas menyusul Chris keluar dan menutup pintu depan. Memastikan dia tidak ikut keluar bersama kami. 

Aku tidak mengatakan sepatah kata pun, aku hanya berlari ke mobilku dan melompat masuk. Chris sudah ada di dalam mobil dan sudah bersiap untuk pergi dari situ. 

Ketika mobil sudah kunyalakan, kulihat Chris mengeluarkan ponsel dan menelfon polisi. 

Aku melihat kaca spion, yakin aku akan melihat Lynn di sana, mengejar kami. Tetapi aku tidak pernah melihatnya. Aku langsung pergi ke UGD dan mendapat 11 jahitan di lengan dan 3 di punggung. 

Ketika pihak kepolisian mendatangi kami di rumah sakit, mereka mengajukan banyak pertanyaan dan kembali ke rumah untuk melakukan pencarian, tetapi tentu saja, Lynn tidak ada di sana.

Mereka menyarankan aku untuk tinggal dengan teman atau saudara untuk sementara waktu dan mengajukan perintah penahanan sesegera mungkin, tetapi semua itu tidak penting. Entah bagaimana aku langsung tahu.

Aku mengantar Chris ke rumah, dan pergi ke motel yang berjarak satu jam. ku ingin menjaga jarak sejauh mungkin antara aku dan Lynn.

Di sinilah aku berada selama 4 jam terakhir. ku pikir mungkin polisi akan menemukannya, mungkin mereka akan memberinya bantuan yang sangat dibutuhkannya.

Tetapi sekarang kurasa tidak. Karena 40 menit yang lalu aku mendapat pesan teks dari nomor yang sangatku kenali betul. 

Hanya dua kata:

"Aku menemukanmu :)"


Yth Pembaca,
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih

0 Response to "Istriku Memiliki Kebiasaan Baru, Yaitu Mengintip dari Sudut-Sudut Rumah"

Post a Comment