Dunia ilmu pengetahuan tidak lepas dari sejarah gelap—eksperimen yang melanggar batas etika, mengorbankan manusia demi ambisi akademik, dan meninggalkan trauma yang tak pernah sembuh.
Salah satu kasus paling mengerikan dari ranah psikologi Amerika Serikat adalah eksperimen yang kini dikenal sebagai The Monster Study.
Dilakukan secara diam-diam pada tahun 1939, eksperimen ini bukan hanya gagal secara moral, tetapi juga menimbulkan dampak psikologis yang menghancurkan terhadap subjeknya: anak-anak yatim piatu yang tidak bersalah.
Meskipun niat awalnya diklaim "ilmiah", namun metode dan dampaknya membuat eksperimen ini kemudian dianggap sebagai salah satu pelanggaran etika terbesar dalam sejarah psikologi modern.
Apa Itu The Monster Study?
The Monster Study adalah sebuah eksperimen kontroversial di bidang psikologi perkembangan dan terapi bicara, yang bertujuan untuk memahami bagaimana gangguan bicara seperti gagap (stuttering) bisa terbentuk—apakah berasal dari faktor biologis, atau bisa ditanamkan secara psikologis melalui tekanan lingkungan.
Eksperimen ini dilakukan oleh Wendell Johnson, seorang profesor psikologi dari University of Iowa, yang bekerja sama dengan mahasiswi pascasarjananya, Mary Tudor.
Ironisnya, Johnson sendiri adalah seorang penderita gagap. Ia sangat tertarik memahami akar masalah tersebut—namun pendekatan yang ia pilih mencerminkan kurangnya empati dan ketidakpedulian terhadap kerusakan psikologis yang bisa ditimbulkan.
Yang paling tragis, seluruh eksperimen ini dilakukan pada anak-anak yatim piatu—mereka yang hidup tanpa keluarga, tanpa perlindungan, dan dianggap "mudah dimanipulasi".
Metodologi Eksperimen
Sebanyak 22 anak dari panti asuhan Iowa Soldiers’ Orphans Home direkrut menjadi subjek eksperimen. Mereka kemudian dibagi ke dalam dua kelompok utama:
Kelompok 1: Anak-anak Tanpa Masalah Bicara
Anak-anak ini sebenarnya tidak memiliki gangguan bicara apa pun. Mereka berbicara normal dan percaya diri. Namun dalam eksperimen, mereka diberikan masukan verbal negatif secara terus-menerus. Beberapa contoh perlakuan tersebut antara lain:
- Mereka dikritik setiap kali berbicara.
- Diberi tahu bahwa mereka memiliki masalah bicara.
- Dilarang berbicara di depan umum.
- Dipermalukan saat melakukan kesalahan kecil dalam artikulasi.
Tujuannya? Untuk melihat apakah kritik, tekanan, dan sugesti negatif bisa memunculkan gangguan bicara seperti gagap.
Kelompok 2: Anak-anak yang Sudah Gagap
Kelompok ini justru diperlakukan sebaliknya. Mereka diberi pujian, dorongan positif, dan dilatih untuk lebih percaya diri saat berbicara.
Tujuan kelompok ini adalah untuk menguji apakah pendekatan positif dapat mengurangi gejala gagap.
Hasil Eksperimen yang Menghancurkan Hidup
Efek dari eksperimen ini sangat mengkhawatirkan. Beberapa anak dari kelompok normal yang dikritik mulai menunjukkan gejala-gejala seperti:
- Ketakutan berbicara di depan umum
- Menarik diri secara sosial
- Gugup dan cemas saat berkomunikasi
- Mengembangkan gagap yang sebelumnya tidak ada
Lebih mengerikan lagi, beberapa anak tersebut membawa trauma ini sampai dewasa, merasa tidak percaya diri, sulit berbicara di lingkungan sosial, dan mengalami kerusakan harga diri permanen.
Sementara itu, efek positif dari kelompok yang diberi dukungan justru tidak signifikan. Artinya, kerusakan lebih mudah ditanamkan daripada disembuhkan—sebuah kenyataan pahit dalam studi psikologi.
Wendell Johnson dan Mary Tudor: Siapa Mereka?
Wendell Johnson
Seorang akademisi dan penderita gagap, Johnson dikenal sebagai pionir dalam terapi bicara. Ia percaya bahwa gagap bisa menjadi hasil konstruksi sosial—dan bukan hanya gangguan biologis.
Ia mengutarakan bahwa cara orang dewasa bereaksi terhadap kesalahan bicara anak-anak justru dapat menyebabkan anak tersebut menjadi gagap.
Namun untuk membuktikan teorinya, ia mengorbankan anak-anak yang tidak memahami apa yang terjadi pada mereka.
Mary Tudor
Sebagai mahasiswa yang menjalankan eksperimen secara langsung, Mary Tudor mengungkapkan penyesalan mendalam di kemudian hari. Dalam wawancaranya tahun 2001, ia mengatakan:
“Saya tidak menyangka anak-anak akan begitu menderita. Saya minta maaf… saya masih merasa bersalah.”
Namun, pada saat eksperimen berlangsung, ia tidak menghentikan proses meskipun melihat efek negatif yang mulai muncul.
Penutupan dan Penyangkalan
University of Iowa tidak pernah mempublikasikan hasil eksperimen ini secara resmi. Setelah melihat hasilnya dan menyadari potensi kecaman publik, mereka memilih untuk menyimpan semua dokumen dan hasil penelitian secara diam-diam.
Selama lebih dari 60 tahun, eksperimen ini disembunyikan dari dunia akademis dan publik.
Baru pada awal 2000-an, beberapa peneliti dan jurnalis mulai membongkar arsip lama dan mengungkap isi sebenarnya dari eksperimen Monster ini. Reaksi publik sangat keras, dengan banyak pihak menyatakan kemarahan, keterkejutan, dan rasa iba terhadap korban yang terlibat.
Pada tahun 2001, beberapa korban yang masih hidup mengajukan gugatan hukum terhadap University of Iowa. Dalam tuntutan mereka, mereka menyatakan bahwa eksperimen tersebut:
- Dilakukan tanpa persetujuan
- Menghancurkan kehidupan sosial dan psikologis mereka
- Meninggalkan luka mental jangka panjang
Pemerintah negara bagian Iowa akhirnya menyetujui untuk membayar kompensasi sebesar $925.000 kepada para korban yang terlibat.
Meski begitu, tidak ada satu pun pelaku eksperimen yang pernah dihukum.
Pelajaran Etika: Mengapa The Monster Study Masih Diajarkan?
The Monster Study kini menjadi studi kasus wajib dalam mata kuliah etika psikologi dan eksperimen manusia.
Eksperimen ini mengingatkan kita bahwa:
- Pengetahuan tidak boleh mengorbankan kemanusiaan.
- Subjek eksperimen harus diberi persetujuan dan perlindungan
- Ilmu yang melukai lebih buruk daripada ketidaktahuan.
Eksperimen ini menjadi contoh konkret mengapa Informed Consent (persetujuan secara sadar) dan pengawasan etika sangat penting dalam setiap riset ilmiah, terutama yang melibatkan manusia.
In The End..
The Monster Study mengingatkan kita bahwa batas antara ilmu pengetahuan dan kekejaman bisa sangat tipis ketika tidak diiringi oleh moralitas dan empati. Itu menunjukkan bahwa dalam upaya memahami manusia, kita tidak boleh melupakan kemanusiaan itu sendiri.
Eksperimen ini mungkin hanya satu dari sekian banyak eksperimen kelam dalam sejarah, namun luka yang ditinggalkannya telah menandai ribuan halaman etika akademik sejak saat itu.
Anak-anak yatim piatu itu tidak memilih untuk dijadikan subjek. Mereka tidak menandatangani persetujuan. Mereka tidak tahu bahwa kehidupan mereka akan berubah selamanya. Dan bagi sebagian dari mereka, monster yang sebenarnya bukan berasal dari mimpi buruk—melainkan dari laboratorium.
Kata Kunci:
The Monster Study, eksperimen psikologi tidak etis, Wendell Johnson, Mary Tudor, eksperimen gagap 1939, trauma anak yatim piatu, sejarah gelap psikologi, unethical psychology experiments, eksperimen kontroversial Amerika
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
0 Response to "The Monster Study: Eksperimen Psikologi yang Meninggalkan Luka Seumur Hidup pada Anak-Anak Yatim"
Post a Comment