v Story : "Pulang" | UNSOLVED INDONESIA

Story : "Pulang"

 Cerita By Admin

Based On : "An Occurrence at Owl Creek Bridge" by Ambrose Bierce (Public Domain) 

Mereka membawanya keluar saat langit masih kelabu. Udara pagi menggantung berat, dingin dan tak bergerak, seakan bumi sendiri menahan napas. 

Lelaki itu berjalan tanpa sepatah kata pun, diapit dua penjaga yang langkahnya kaku. Kakinya telanjang. Tanah di bawahnya masih basah oleh embun, mencetak jejak-jejak pendek yang segera menghilang di rerumputan tinggi.

Tiang gantungan berdiri di tengah lapangan terbuka, kayunya tua dan pucat, berderit pelan saat disentuh angin. Di bawahnya, sebuah kursi kayu reot telah disiapkan. Tali telah tergantung—mengayun pelan, seperti jemari yang menunggu.

Tak ada kerumunan. Hanya beberapa pria berseragam, seorang pendeta tua, dan seorang algojo yang wajahnya tertutup kain hitam.

Lelaki itu berhenti beberapa langkah dari tiang. Ia menoleh sekali ke langit—warna abu-abu, tanpa matahari, tanpa bayangan.

Hari ini, adalah hari dia akan digantung. 

"Naiklah," kata algojo.

Ia menurut. Tidak terburu-buru, tidak juga menunda. Langkahnya ringan, tapi dunia terasa berat. Kayu kursi di bawahnya berderit pelan ketika ia berdiri di atasnya. Suara tali dikencangkan, dan simpul diikat erat di bawah telinga kiri.

"Apakah ada hal terakhir yang ingin  kau sampaikan?" tanya pendeta.

Lelaki itu diam. Hanya satu tarikan napas. Satu kedipan mata.

Seekor burung hitam melintas rendah di kejauhan. Darinya datang satu-satunya suara yang memecah pagi.

Lelaki itu menunggu. Tali ditarik, simpul diperiksa. Tidak ada suara selain napas yang ditahan. Angin mulai bertiup, pelan tapi cukup untuk membuat tali itu menyentuh pipinya.

Ia memejamkan mata... 

... lalu bersiap.

Kemudian.. 

Suara kayu retak terdengar lebih keras, sebelum disusul suara hentaman. 

Itu bukan dari tiang.

Itu dari tali.

Tepat saat algojo mendorong kursi di bawah kakinya, tubuh lelaki itu jatuh—tapi bukan menegang. Ia menghantam tanah keras, tubuhnya terjerembab dalam debu dan rumput liar. Tali yang mengikat lehernya terlepas, ujungnya melambai tak berdaya, menggantung dari palang atas seperti ular mati.

Hening.

Sekejap yang panjang. Waktu membeku.

Mereka, para penjaga dan algojo, belum sempat bereaksi ketika lelaki kemudian itu bergerak.

Tangannya lebih cepat dari pikiran. Ia merobek simpul dari lehernya, lalu bangkit dan berlari.

Satu... dua... tiga langkah—dan ia sudah melewati batas tali yang seharusnya menamatkan hidupnya. Kakinya seperti mengenal medan dengan sendirinya. Rumput tinggi mencambuk betis, udara masuk kasar ke paru-parunya, tapi ia tak berhenti.

Dia kabur dari eksekusinya. 

Ia tidak menoleh. Tidak mendengar apa pun selain degup jantungnya yang membentur dada seperti palu. Nafasnya putus-putus, mencakar tenggorokannya dari dalam, tapi ia tidak peduli.

Kakinya menghantam tanah berulang-ulang, melewati pagar patah, menyusuri jalan sempit yang dulu ia lintasi saat membawa anaknya ke pasar. Melewati bayangan pohon ek tua, menuruni jalan tanah yang pernah dilalui kereta kuda lusuh yang kini entah di mana.

Ia jatuh sekali. Lututnya tergores batu, darah membasahi celananya yang robek. Tapi ia bangkit. Tak ada waktu untuk menjerit. Tak ada ruang untuk rasa sakit.

Ia pikir tadi mendengar teriakan di belakangnya—“Tangkap dia!”—tapi itu mungkin hanya desiran angin yang licik.

Ia melewati sungai kecil. Dahulu ia sering memancing di sana bersama putranya. Kini ia melompat begitu saja, air menampar betisnya yang dingin. Seluruh tubuhnya menjerit minta istirahat, namun hatinya seperti cambuk yang memaksanya terus maju.

Ia membayangkan wajah istrinya. Lengan istrinya. Tubuh kecil putranya yang tertidur di pangkuannya. Bau rambut anaknya. Hangatnya rumah.

Ia ingin memeluk mereka.

Bukan untuk memberi penghiburan—tetapi untuk memastikan ini semua nyata. 

Jika ia bisa menyentuh mereka, mungkin dunia ini masih waras.

Ia terus lari.

Dan dunia di belakangnya, seolah mengabur.

Akhirnya ia sampai.

Langkah-langkahnya yang semula liar kini berubah menjadi tertatih. Pandangannya berdenyut oleh cahaya dan adrenalin yang mengalir terlalu cepat. Dia baru saja kabur dari eksekusinya sendiri. 

Sekarang, dia berdiri di depan rumah. Rumah itu masih sama. Cat mengelupas nya, dia ingat betul karena dia dan istrinya lah yang mengecat tembok itu. 

Pagar kayu berderit ditiup angin. Daun gugur mengerumuni teras kecil tempat seorang perempuan berdiri, menatap ke arah jalan—seakan telah menunggu sepanjang waktu. 

Di sampingnya, seorang anak kecil menggenggam roknya, mata bulat memandang dengan rasa rindu yang belum pernah berubah.

Dan lelaki itu menangis.

Bibirnya bergetar. Bukan karena lelah, bukan karena sakit—tapi karena bahagia. Mereka menunggunya. Mereka belum pergi. Mereka masih di sini.

Ia berlari.

Tubuhnya menyeret napas terakhir yang tersisa, melewati jalan setapak, melewati pohon angsana yang dulu mereka tanam bersama, melewati batas antara hidup dan mimpi yang begitu tipis hingga tak bisa dibedakan lagi.

"Istriku... Anakku..."

Ia membuka tangan. Ia bisa melihat jari-jarinya gemetar, bisa merasakan udara di antara mereka menghangat oleh kehadiran orang-orang yang ia cintai. Mereka tinggal sejengkal. Tinggal satu langkah—

Dan dunia terhenti.

Lehernya patah.

Tubuhnya menggantung pelan di bawah tiang kayu tua, mengayun lembut di udara pagi yang kini kembali hening. Mata terbuka. Bibir setengah tersenyum.

Ia tidak pernah bergerak dari tiang gantungan itu.

Semua yang terjadi—pelarian, ladang yang berlari menjauh, sungai yang dilompati, rumah yang berdiri dengan kehangatan—hanyalah penglihatan terakhir dari seorang lelaki menjelang mati.

Hadiah terakhir dari otak yang meregang.

Mimpi yang hangat sebelum gelap mengambil semuanya.

TAMAT


Note : soo.. Cerita "An Occurrence at Owl Creek Bridge" by Ambrose Bierce adalah cerpen tahun 1890, yang sekarang ada di Publik Domain a.k.a free use. Itulah kenapa siapapun bebas mengubah, menterjemahkan, bahkan mengganti karakter atau plotnya sesuka hati. 

Admin awalnya mau posting banyak cerita terlemahan r/nosleep di blog ini, tapi setelah admin mempelajari tentang copyright dari reddit, rupanya sangat menyebalkan jadi admin tahan dulu niatnya. 

Yth Pembaca,
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih

0 Response to "Story : "Pulang""

Post a Comment