v The Lost Expedition : Tragedi Dibalik Ekspedisi Franklin Untuk Menemukan Northwest Passage Pada Tahun 1845 | UNSOLVED INDONESIA

The Lost Expedition : Tragedi Dibalik Ekspedisi Franklin Untuk Menemukan Northwest Passage Pada Tahun 1845

Pada Mei 1845, kru Ekspedisi yang terdiri dari 134 orang diketahui memulai perjalanan untuk menemukan Northwest Passage. Sebuah rumor mengatakan bahwa Northwest Passage, merupakan rute perdagangan menguntungkan yang dapat membuka jalan pelayaran dari Inggris ke seluruh Asia.

Ekspedisi Franklin, demikian sebutannya, dianggap sebagai salah satu misi dengan persiapan terbaik pada masanya. Kapten Sir John Franklin telah melakukan beberapa perjalanan ke Kutub Utara dan kapalnya, HMS Terror dan HMS Erebus, dibentengi secara khusus untuk menahan gelombang es.

Pada bulan Juli tahun itu, Ekspedisi Franklin akan dilaporkan menghilang. Kasus itu akan diperhatikan pemerintah Inggris sekitar 3 tahun kemudian dan tim pencari pun diberangkatkan. Sayang, pencarian itu tidak akan berhasil.

Dalam lima tahun berikutnya, hanya tiga kuburan tak bertanda dan koleksi barang-barang kru yang ditemukan di atas bongkahan es tak berpenghuni. Mayat-mayat itu, secara mengerikan akan menunjukkan tanda-tanda malnutrisi, pembunuhan, dan kanibalisme.

Perlu lebih dari satu abad sebelum sisa-sisa Ekspedisi Franklin yang hilang akhirnya ditemukan. Bahkan, penemuan itu hanya menimbulkan lebih banyak pertanyaan.

Northwest Pasage

Sejak ahli geografi bernama Ptolemy berhasil mengidentifikasi jalur air utara antara Samudra Atlantik dan Pasifik pada abad kedua Masehi, banyak penjelajah yang mencoba mencari rute tersebut.

Rute, yang dikenal sebagai Northwest Passage atau Jalur Barat Laut, akan secara drastis merampingkan perdagangan antara Eropa dan Asia Timur. Akibatnya, kerajaan di seluruh dunia meluncurkan pencarian dan pelayaran besar-besaran untuk menemukannya.

Pada abad ke-15, Kekaisaran Ottoman telah memonopoli rute perdagangan darat, yang mendorong kekuatan Eropa untuk turun ke laut dan mencari rute lain, seperti Northwest Passage.  

Namun,  dari abad ke-15 hingga ke-19, jalur air itu sebenarnya tertutup es. Hanya di zaman modern, dengan efek perubahan iklim dan pencairan glasial, jalur itu kemudian terbuka.

Meskipun demikian, pencarian selama berabad-abad untuk jalan pintas antar benua ini mengilhami upaya yang tak terhitung jumlahnya. Ironisnya, Ekspedisi Franklin akan berakhir dengan ditemukannya rute tersebut karena regu pencari yang mengejarnya pada tahun 1850, menemukannya dengan berjalan kaki.

Namun sebelum tim pencari itu membuat penemuan bersejarah mereka, Angkatan Laut Inggris menugaskan satu orang, 24 perwira, dan 110 pelaut untuk menemukannya.

Ekspedisi Franklin

Sir John Franklin adalah seorang Perwira Angkatan Laut dan ksatria yang terhormat. Dia telah berperang, terdampar di pulau Australia yang terpencil, dan yang terpenting, telah menyambangi sejumlah besar pantai Amerika Utara serta memimpin beberapa ekspedisi yang sukses ke Kutub Utara.

Sementara itu, Sekretaris Kedua Angkatan Laut, Sir John Barrow diketahui telah mengirimkan banyak ekspedisi untuk mencari Northwest Passage selama 40 tahun terakhir. Banyak dari pelayaran tersebut telah berhasil memetakan daerah disekitarnya, dan pada usia 82 tahun, Barrow merasa pencariannya selama puluhan tahun hampir berakhir.

Pada tahun 1845, Barrow menghubungi Franklin, yang pengalamannya membuatnya menjadi kandidat utama untuk pencarian tersebut. Terlepas dari risikonya, komandan berusia 59 tahun itu setuju untuk melakukan ekspedisi menemukan Northwest Passage.

Ekspedisi Franklin direncanakan berangkat dari Pelabuhan Greenhithe di Kent, Inggris pada 19 Mei 1845. Franklin akan memimpin HMS Erebus dan Kapten Francis Crozier akan mengkomandani HMS Teror

Kedua kapal dilengkapi dengan lambung berlapis besi dan mesin uap kuat yang dirancang untuk menahan es Arktik yang intens. Keduanya juga diisi dengan makanan selama tiga tahun termasuk 32.000 pon daging yang diawetkan, 1.000 pon kismis, dan 580 galon acar. Para kru juga akan memiliki perpustakaan yang dapat mereka gunakan

Setelah berangkat dari Sungai Thames, kapal berhenti sebentar di Stromness, Kepulauan Orkney di Skotlandia, dan Kepulauan Whalefish di Teluk Disko di pantai barat Greenland. Di sini, para kru menulis surat terakhir mereka ke rumah.

Surat-surat itu mengungkapkan bahwa Kapten Franklin telah melarang krunya untuk mabuk dan mengumpat diatas kapal. Atas alasan kedisiplinan yang tinggi, Kapten Franklin bahkan sudah tercatat mengirim lima orang pulang.

(Sir John Franklin)

Sebelum meninggalkan Teluk Disko, para kru menyembelih 10 ekor sapi untuk mengisi kembali pasokan daging segar mereka. Saat itu akhir Juli 1845 ketika Erebus dan Teror menyeberang dari Greenland ke Pulau Baffin Kanada dan dua kapal penangkap ikan paus melihat mereka beroperasi untuk terakhir kalinya.

Lost At Sea

Ketika istri Sir John Franklin tidak mendengar kabar tentang suaminya pada tahun 1848, dia memohon kepada Angkatan Laut untuk meluncurkan pencarian. Inggris akhirnya mewajibkan dan meluncurkan lebih dari 40 ekspedisi untuk menemukan kru Ekspedisi Franklin yang hilang.

Pada tahun 1850, bukti pertama tentang apa yang terjadi pada Ekspedisi Franklin terungkap. Sebagai bagian dari upaya bersama antara Inggris dan AS, 13 kapal mencari tanda-tanda kehidupan di Arktik Kanada.

Di sana, di hamparan tanah tak berpenghuni yang disebut Pulau Beechey, regu pencari menemukan kamp primitif kosong dan kuburan pelaut bernama John Hartnell, John Torrington , dan William Braine. Meskipun dinyatakan tidak bertanda, kuburan itu bertanggal 1846.

Empat tahun kemudian, penjelajah Skotlandia John Rae bertemu dengan sekelompok Suku Inuit di Teluk Pelly yang memiliki beberapa barang milik pelaut Ekspedisi Franklin yang hilang. Orang-orang Inuit kemudian mengarahkan rombongan itu ke tumpukan sisa-sisa manusia.

Rae mengamati bahwa beberapa tulang retak yang menjadi dua, dan memiliki bekas sayatan pisau, menunjukkan bahwa para pelaut yang kelaparan telah melakukan kanibalisme.

Kemudian, pada tahun 1859, sebuah catatan ditemukan di Victory Point di Pulau King William oleh regu penyelamat Francis yang dipimpin oleh Leopold McClintock. Surat tertanggal 25 April 1848 itu, mengungkapkan bahwa kedua kapal saat itu telah ditinggalkan. Ia menambahkan bahwa 15 pria dan 90 petugas yang masih hidup akan berjalan ke Great Fish River pada hari berikutnya.

Catatan itu juga ditulis oleh Francis Crozier dan menyatakan bahwa Crozier telah mengambil alih komando ekspedisi setelah John Franklin meninggal.

Butuh hampir 140 tahun lagi untuk mengungkap informasi lebih lanjut mengenai nasib orang-orang ini.

(Francis Cozier)

Dari bukti-bukti yang ditemukan, menjadi semakin jelas bahwa Ekspedisi Franklin gagal ketika kedua kapal terperangkap dalam es. Begitu makanan hampir habis, para kru kemungkinan besar putus asa, meninggalkan kapal, dan memutuskan untuk mencari bantuan di suatu tempat di bentangan Arktik yang sepi di lepas pantai barat Pulau King William.

Selebihnya, nasib kru tidak diketahui sebelum kemudian penemuan yang terjadi pada tahun 80-an, mengungkap sesuatu yang lebih disturbing.

The Discovery

Pada tahun 1981, antropolog forensik Owen Beattie mendirikan Franklin Expedition Forensic Anthropology Project (FEFAP) dalam upaya untuk mengidentifikasi kru mana yang telah meninggal dan dimakamkan di Pulau King William.

Mayat Hartnell, Braine, dan Torrington digali dan dianalisis pada tahun 1984.

Torrington ditemukan dengan mata biru susu terbuka lebar dan tanpa luka atau tanda-tanda trauma. Tubuhnya yang seberat 88 pon, bagaimanapun, menunjukkan tanda-tanda kekurangan gizi, tingkat timbal yang mematikan, dan radang paru-paru yang prah.

Beattie kemudian berteori bahwa keracunan timbal kemungkinan disebabkan oleh ransum yang tidak dikalengkan dengan benar atau buruk.

Karena ekspedisi mereka membutuhkan begitu banyak makanan, Beattie berpendapat bahwa orang yang bertanggung jawab untuk mengalengkan semua makanan kaleng itu, telah melakukannya dengan "sembrono" dan makanan itu kemungkinan meracuni para pria—menurut catatan persediaan, Ekspedisi Franklin membawa sekitar 8.000 makanan kaleng.

Mayat-mayat itu juga semuanya ditemukan menderita kekurangan vitamin C yang ekstrem, yang akan menyebabkan penyakit kudis. Tahun berikutnya, tim Beattie menemukan sisa-sisa mayat antara enam dan 14 orang lagi di Pulau King William.

Penmuan HMS Teror Dan HMS Erebus

Sementara beberapa awaknya ditemukan, kapal-kapal yang mengantar mereka tetap hilang selama hampir dua dekade. Kemudian, pada tahun 2014, Pemerintah Canada menemukan HMS Erebus di perairan, 36 kaki di lepas Pulau King William.

Untuk HMS Teror, ditemukan oleh Arctic Research Foundation pada tahun 2016 di sebuah teluk, 45 mil jauhnya yang diberi nama Teluk Teror. Anehnya, tidak ada kapal yang menunjukkan kerusakan karena kedua lambungnya masih utuh. Bagaimana mereka berpisah (karena ditemukan di dua tempat yang berbeda) dan kemudian tenggelam, tetap menjadi misteri.

Meskipun, para ahli sempat berhipotesis bahwa tanpa cara melintasi es, Franklin dan anak buahnya terpaksa meninggalkan kapal. Kapal-kapal itu utuh, tetapi sama sekali tidak berguna di medan yang tidak dapat diatasi. Tanpa apa-apa selain hamparan es yang membentang didepan mereka, semua orang meninggal selama beberapa bulan ke depan.

Pada akhirnya, yang tersisa dari Ekspedisi Franklin yang hilang hanyalah beberapa barang peninggalan, dua bangkai kapal, dan tubuh tiga pelaut yang berhasil dikuburkan oleh teman-teman mereka.

Tentu, sebagian besar mayat-mayat yang tidak dikubur, akan selamanya hilang di laut dan akan tetap menambah misteri tentang apa yang terjadi dengan sisa kru yang lain.

Baca Juga :

Yth Pembaca,
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih

0 Response to "The Lost Expedition : Tragedi Dibalik Ekspedisi Franklin Untuk Menemukan Northwest Passage Pada Tahun 1845"

Post a Comment